Pati, Gatra.com - Aktivis antikekerasan dari berbagai negara berbondong-bondong sowan ke Desa Tondomulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Jumat (28/6). Tujuan pelancong mancanegara ini, menimba ilmu untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah.
Aktivis antikekerasan itu berasal dari Malaysia, Filipina, Myanmar, Australia, Kamboja, Amerika Serikat, Korea, Samoa, dan Nepal.
Selain peserta dari luar negeri, kegiatan ini juga diikuti oleh berbagai masyarakat etnis di Indonesia diantaranya Nusa Tenggara Timur, Papua, Flores, dan Bima. Ada juga dari unsur guru dan penyuluh agama.
Kenapa jauh-jauh ke kabupaten berjuluk Bumi Mina Tani? Alasannya di wilayah ini terdapat RA/ MI Miftahul Huda Tondomulyo yang mengimplementasikan sistem pembelajaran Hidup Tanpa Kekerasan (HTK).
Koordinator aktivis mancanegara, Petrus, mengatakan sistem pembelajaran tersebut dinilai ampuh. Sehingga para aktivis antikekerasan di penjuru dunia tertarik untuk berdiskusi.
"Teman-teman, ingin bersama-sama membangun hidup damai antar umat beragama. Kami membagikan kekuatan kebaikan dari anak-anak," ujarnya.
Diterangkan, kunjungan di Tondomulyo merupakan rangkaian Workshop Creating Culture Justice And Peace atau Membangun Budaya Damai yang diinisiasi oleh Rumah Damai.
"Rumah Damai atau Peace Place sendiri bersekretariat di Muktiharjo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati," imbuhnya.
Pengurus Yayasan MI Miftahul Huda Tondomulyo, Sunadi, menuturkan sekolah ini mengadopsi metode pembelajaran yang berbasis anti kekerasan dan cinta lingkungan.
Bukan tanpa alasan, sistem pembelajaran ini digalakkan lantaran dahulu Tondomulyo memiliki stigma negatif, yakni ranking tertinggi kekerasan di wilayah Kecamatan Jakenan.
"Sejak 2008 daerah saya mayoritas Islam. Ketika ada non islam masuk sangat sensitif. Tahun 2009 saya kenal Pak Petrus. Saya ingin membongkar prasangka atau pemahaman tersebut. Sekolah ini dibangun untuk membentuk karakter anak," ujarnya saat berdiskusi di hadapan para aktivis antikekerasan manca negara.
Sita dari Nepal mengaku sangat hangat dan aman berada di Indonesia. Ia pun ingin mempelajari kebudayaan Indonesia yang rukun meski dari berbagai suku dan agama.
"Saya fasilitator HTK di Nepal. Saya ingin belajar bagaimana teman-teman bekerja sama dengan anak kecil," ucapnya.
Siti Fatimah dari Myanmar mengikuti program Peace Place Pati dengan harapan mampu menyerap ilmu dan menerapkan metode anti kekerasan dari Indonesia.
"Saya dari Myanmar. Di sana terjadi banyak kasus kekerasan seperti yang anda ketahui. Ingin belajar tentang HTK dan menerapkannya di negara saya jika ada kesempatan," tuturnya.
Selain tema kekerasan para aktivis juga bertukar pikiran tenang upaya pelestarian lingkungan sungai dari negaranya masing-masing.