Jakarta, Gatra.com – Perum BULOG menanggapi soal isu mark up harga beras impor yang dilaporkan pihak tertentu terkait penawaran dari perusahaan asal Vietnam, Tan Long Group.
Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum BULOG, Mokhamad Suyamto, dalam keterangan pada Kamis, (4/7), menyampaikan, Tan Long Group pernah menawarkan diri untuk menjadi salah satu mitra dari Perum BULOG pada kegiatan impor, namun entitas ini tidak pernah memberikan penawaran harga ke BULOG.
“Perusahaan Tan Long Vietnam yang diberitakan memberikan penawaran beras, sebenarnya tidak pernah mengajukan penawaran harga sejak bidding tahun 2024 dibuka. Jadi tidak memiliki keterikatan kontrak impor dengan kami pada tahun ini,” ujarnya.
Saat ini, Perum BULOG mendapatkan penugasan untuk mengimpor beras dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebesar 3,6 juta ton pada tahun 2024. Pada periode Januari–Mei 2024, jumlah impor sudah mencapai 2,2 juta ton.
Impor dilakukan oleh Perum BULOG secara berkala dengan melihat neraca perberasan nasional dan mengutamakan penyerapan beras dan gabah dalam negeri.
“Kami terus menjaga komitmen untuk tetap menjadi pemimpin rantai pasok pangan yang tepercaya sehingga bisa berkontribusi lebih bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia dan hal ini tentunya sesuai dengan ke-4 visi transformasi kami,” kata Sonya Mamoriska, Direktur Transformasi & Hubungan Antar-Lembaga Perum BULOG.
Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN), Shanti Dewi Mulyaraharjani, menyampaikan, kita harus mengedepankan asas praduga tak bersalah. Apalagi isu ini sudah pernah diangkat pada rapat dengar pendapat antara DPR, khususnya Komisi IV dengan Bapanas dan Perum BULOG, beberapa waktu yang lalu.
Perum BULOG kembali diterpa isu demurage, walaupun hal ini sebenarnya sudah pernah dijelaskan pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR pada Kamis, 20 Juni 2024 lalu.
“Dalam kondisi tertentu, demurrage atau keterlambatan bongkar muat adalah hal yang tidak bisa dihindarkan sebagai bagian dari risiko penanganan komoditas impor,” kata Bayu Krisnamurthi, Direktur Utama Perum BULOG.
Bayu mecontohkan, kalau dijadwalkan 5 hari namun kemudian menjadi 7 hari hal itu bisa terjadi karena ada berbagai faktor lain, misalnya karena hujan, arus pelabuhan penuh, buruhnya tidak ada karena hari libur, dan sebagainya.
“Dalam mitigasi risiko importasi, Demurrage itu biaya yang sudah harus diperhitungkan dalam kegiatan ekspor impor,” ujarnya.
Bayu lebih lanjut menyampaikan, adanya biaya demurrage menjadi bagian konsekuensi logis dari kegiatan eskpor impor. Namun demikian, pihaknya selalu berusaha meminimalisir biaya demurrage dan itu sepenuhnya menjadi bagian dari biaya yang masuk dalam perhitungan pembiayaan perusahaan pengimpor atau pengeskpor.
Saat ini, Perum BULOG masih memperhitungkan total biaya demurrage yang harus dibayarkan, termasuk dengan melakukan negosiasi ke pihak Pelindo, pertanggungan pihak asuransi serta pihak jalur pengiriman. Menurut Bayu, perkiraan demurrage yang akan dibayarkan dibandingkan dengan nilai produk yang diimpor tidak lebih dari 3%.
Budhy Setiawan dari Partai Golongan Karya yang memimpin persidangan Rapat Dengar Pendapat, menyampaikan, pemberitaan mengenai demurrage yang marak di media belakangan ini membuat bingung Komisi IV.
“Membuat bingung kami di Komisi IV karena demurrage itu adalah biaya rutin yang lazim dilakukan pada saat kegiatan ekspor impor,” katanya.
Dalam kesempatan terpisah, pakar pangan Indonesia Tito Pranolo menyampaikan, sebenarnya tidak lengkap membahas demurrage tanpa membahas despatch. Despatch adalah bonus yang diberikan karena bongkar barang terjadi lebih cepat.
“Tentunya keduanya pernah dialami oleh Perum BULOG sebagai operator pelaksana penerima mandat impor beras dari pemerintah dan selama ini Perum BULOG tidak pernah membebani masyarakat karenanya,” kata dia.