Home Olahraga SOina Aceh: Anak Bertalenta Khusus Aceh Menanti Kesempatan Berkembang

SOina Aceh: Anak Bertalenta Khusus Aceh Menanti Kesempatan Berkembang

Aceh, Gatra.com - Sebagaimana di wilayah Indonesia lainnya, anak-anak bertalenta khusus, atau disabilitas intelektual di Aceh, menghadapi kesulitan mengembangkan dirinya. Kendati telah ada upaya-upaya untuk memastikan mereka meraih kesempatan masih banyak hal harus dilakukan agar merasa aman dan nyaman sebagaimana anak-anak lain.

Kepengurusan Special Olympics Indonesia Provinsi Aceh periode 2024-2028 resmi dikukuhkan di Aula Cabang Dinas Pendidikan (Cabdisdik) Wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, Rabu (26/6/2024). Anak-anak bertalenta khusus Aceh pun akan mendapat kesempatan mengembangkan bakatnya dan dapat ikut berlaga berbagai ajang nasional, regional dan internasional.

Ketua Umum Pengurus Pusat Special Olympics Indonesia Warsito Ellwein datang melantik kepengurusan baru yang dipimpin Hj Jamilah Ansyari. Pada pundak perempuan yang lama berkecimpung di Ikatan Guru Pendidikan Khusus Indonesia (IGPKhI) harapan mengujudkan mimpi anak-anak bertalenta khusus di Tanah Rencong jadi nyata.

Special Olympics Indonesia merupakan pergerakan inklusi yang bermaksud memberi ruang bagi anak-anak bertalenta khusus agar bisa mengembangkan diri. Di wilayah lain anak-anak terus mengembangkan diri dalam program-program olahraga, seni dan kepemimpinan.

Untuk agar dapat mengujudkan hal itu berbagai hal mesti disiapkan oleh para pengurus tentu dengan bantuan pihak-pihak lain seperti pemerintah, orangtua, pihak swasta dan tentu saja masyarakat luas.

“Saya yakin kepengurusan ini akan mampu bekerja dengan baik, ketua dan sekretaris punya komitmen yang tinggi. Di samping itu dukungan dari pihak Dinas Pendidikan baik sekali,” ujar Warsito Ellwein usai pelantikan.

Anak-anak bertalenta khusus, atau difabel intelektual, adalah bagian dari komunitas difabel secara keseluruhan. Secara kasat mata mereka bisa dengan mudah dibedakan dengan kelompok difabel lain seperti difabel mental, sensorik dan mental. Di seluruh Aceh, menurut data Dinas Sosial, pada 2022 jumlah seluruh orang difabel di sana ada 18.680 jiwa.

Sebesar 55,03% dari total populasi disabilitas Aceh pada 2022 adalah oleh laki-laki sisanya perempuan sebesar 44,97%. Populasi orang difabel terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Utara berjumlah 2.315 jiwa terdiri dari 1.274 laki-laki dan 1.041 perempuan. Sedangkan Kota Sabang mencatat jumlah orang dengan disabilitas terendah yaitu 51 orang terdiri dari 33 laki-laki dan 18 perempuan.

Berapa jumlah anak bertalenta khusus di Aceh secara tepat sulit diketahui. Namun data yang disusun atas kerjasama pengurus Special Olympics dan Ikatan Guru Pendidikan Khusus Indonesia (IGPKHI) menunjukkan jumlah siswa sekolah-sekolah luar biasa ada 2297 anak. “Itu jumlah sementara karena di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang belum terdata,”ujar Jamilah.

SOina Aceh

Jamilah dan para pengurus SOina Aceh tengah berpikir bagaimana bisa mengetahui keberadaan anak-anak bertalenta khusus di wilayahnya dengan lebih akurat. Salah satu ide yang menjadi pertimbangannya menggerakkan para pengurus tingkat kabupaten dan kota untuk mencari anak-anak bertalenta khusus yang belum bersekolah. Langkah lain adalah bekerjasama dengan unit layanan difabilitas di tiap daerah.

Berbagai hambatan memang membuat anak-anak itu tidak bersekolah dan tidak bisa mengikut kesempatan-kesempatan berkumpul dan berkegiatan yang dihelat komunitas-komunitas. Mereka juga menghadapi persoalan-persoalan serupa dengan rekan-rekannya wilayah lain di Indonesia, yakni terpinggirkan dalam pergaulan sosial. Alih-alih menemukan lingkungan yang nyaman, anak-anak itu masih menemui stigma dan diskriminasi baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

Dukungan IGPKHI membangkitkan lagi aktifitas Special Olympics Indonesia di Aceh mendapat sambutan baik Warsito. Selaku ketua umum dia melihat hal positive ini bisa menjadi model yang baik untuk dikembangkan di wilayah Indonesia yang lain. Manfaatnya akan terasa saat kepengurusan daerah memasuki masa demisioner anak-anak bertalenta khusus tetap beraktifitas seraya menunggu kepengurusan baru terbentuk.

Menggalang Gotong Royong

Demi mewujudkan mimpi mendapat kesempatan seperti rekan-rekannya di provinsi lain yang berkembang bersama SOina pun tidak mudah. Mereka menghadapi kesulitan mencari akses pendidikan pasalnya Tidak semua daerah di Aceh memiliki sekolah yang menyediakan pendidikan khusus atau inklusi untuk anak-anak dengan disabilitas intelektual.

Posisi difabel intelektual Aceh, menurut Jamillah, masih jauh dari nyaman saat ini. Dia melihat adanya stigma sosial dan diskriminasi, baik dari masyarakat umum maupun lingkungan sekolah. “Kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang disabilitas intelektual dapat menyebabkan perlakuan yang tidak adil dan tidak inklusif,” kata Jamilah.

Namun di saat yang sama, Jamilah melihat ada sejumlah perkembangan yang membuatnya merasa senang. Pertama, soal Sekolah Inklusif. Sejumlah sekolah di Provinsi Aceh telah mulai mengadopsi model pendidikan inklusif, di mana anak-anak dengan disabilitas intelektual belajar bersama dengan anak-anak lainnya. Ini memberikan mereka kesempatan untuk berinteraksi dan belajar dalam lingkungan yang beragam.

Kedua program pelatihan guru yang diselenggarakan bersama instansi terkait. Hasil yang diharapkan program ini adalah peningkatan kemampuan mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus. Ini termasuk strategi pengajaran yang berbeda dan cara untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif.

Perkembangan dua hal itu tentunya membuka peluang bagi anak-anak difabel intelektual. Jamilah yang memimpin kepengurusan SOIna Pengprov Aceh akan mengembangkan organisasi ini dengan meminta dukungan berkoordinasi dengan berbagai pihak. Salah satunya adalah membentuk klub-klub dengan membuat even-even sesuai program pengurus pusat Special Olympics Indonesia.

Klub SOina merupakan program aktifitas-aktifitas bersama antara anak bertalenta khusus bersama dengan partner dan keluarga. Secara bersama-sama para anggota klub itu menjalin kebersamaan sehingga anak-anak merasakan bagaimana berada dalam kehidupan sesungguhnya. Hal itu berbeda dengan situasi belajar di sekolah karena interaksinya terbatas dengan kawan dan guru saja.

Di Aceh sendiri bila pengurus berhasil menghadirkan klub-klub yang dimaksud setidaknya akan mampu membukakan jalan problem yang dirasakan Jamilah yakni Isolasi Sosial. Akibat dari kondisi itu anak mengalami kekurangan aktivitas sosial sesuai kebutuhan mereka seperti rekreasi. Mereka dan keluarga pun mengalami pengucilan dari masyarakat. Lingkungan mereka memang kurang memahami dan kurang menerima kelompok difablitas.

Anak-anak bertalenta khusus Aceh kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu. Orangtua mereka bekerja sebagai tukang becak, pencari ikan, pedagang kecil, petani. Sebagian orangtua ada juga yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil dan guru. Tentu kehadiran Klub SOina akan cukup berarti bagi mereka. 

75