Home Ekonomi Indonesia Harus Hilangkan White Skin Syndrome dan Maksimalkan Potensi

Indonesia Harus Hilangkan White Skin Syndrome dan Maksimalkan Potensi

Jakarta, Gatra.com- Pakar Pertahanan dan Keamanan Pangan, Dina Hidayana mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus menghilangkan sifat inferior terhadap negara-negara maju atau yang disebut sebagai "White Skin Syndrome".

Dina Hidayana telah meneliti negara-negara di lima benua selama beberapa dekade terakhir. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa setiap negara, termasuk yang disebut negara maju, memiliki masalah dan dinamika yang kompleks, seperti ketergantungan pada negara lain untuk pemenuhan pangan dan bahan baku industri.

"Indonesia memiliki aset melimpah sebagai negara kepulauan terluas di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Menuju periode emas 2045, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk terus merasa rendah diri terhadap negara-negara yang dulu dikenal sebagai kolonial." ujar Dina dalam keterangannya kepada Gatra.com, Rabu (17/7).

Baca juga: BI Ramal Ekonomi RI Akan Tumbuh Hingga 5,5% pada 2024

Dina menyebutkan bahwa supremasi kulit putih yang dimulai oleh kolonialisasi bangsa Eropa-Amerika telah mengakibatkan rasisme, penjajahan, dan perbudakan non-kulit putih selama berabad-abad.

Hingga kini, kebijakan internasional masih didominasi oleh kekuatan "bangsa kulit putih". Dina menyebutkan bahwa Indonesia masih sulit beranjak dari fenomena "white skin syndrome" dalam negosiasi dan diplomasi internasional.

"Misal, sengketa dagang internasional di World Trade Organization (WTO) di kurun 2014-2018, dari 5 kasus yang telah diputuskan, Indonesia hanya mampu memenangkan satu kasus." bebernya.

Baca juga: CME-ID: Rasio Utang Tinggi Picu Inflasi, Lemahkan Ekonomi

Contoh lain, lanjut Dina, Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean sejak 2015 sebagai pintu masuk liberalisasi kawasan Asia Tenggara dalam peniadaan arus modal, barang, jasa, investasi dan tenaga kerja meski positif di satu sisi, namun justru banyak merugikan Indonesia yang nyatanya belum siap.

"Indonesia terus dibanjiri produk importasi yang semakin menghimpit produsen lokal, bahkan menyangkut hal fundamental, yakni sektor pangan." tambahnya.

Dina mengingatkan bahwa Indonesia pernah mengalami masa kejayaan di era pra-kolonialisme. Oleh karena itu, tidak mustahil bagi Indonesia untuk memulihkan kepercayaan diri sebagai bangsa besar yang sejajar dengan negara lain. "Indonesia memiliki sumber bahan baku pangan dan industri yang melimpah, yang dibutuhkan oleh banyak negara." jelasnya.

Menurut dia, hal Ini merupakan nilai tawar yang positif bagi posisi Indonesia dalam negosiasi internasional jika didayagunakan dengan tepat. Dina menyebut, negara-negara empat musim saat ini menghadapi kecemasan serius terkait perubahan iklim dan stok bahan baku pangan, sementara jumlah tenaga kerja yang mau dan mampu bekerja di sektor tertentu sangat minim. "Ini merupakan peluang bagi Indonesia," ucapnya.

Baca juga: LPEM UI Ungkap Alasan BI Harus Pertahankan Suku Bunga Acuan di Level 6,26%

Dubes dan para akademisi yang sedang studi di luar negeri, jelas Dina, dapat berfungsi sebagai agen informasi sekaligus politisi yang menyerap aspirasi lokal, sehingga dapat diketahui kondisi sosial ekonomi dan kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh Indonesia.

Menjelang bonus demografi pada tahun 2030-an, Dina menekankan pentingnya pengembangan SDM Indonesia untuk menghadapi tantangan zaman dan dinamika global.

"Kampus dan lembaga riset harus bersikap visioner dan responsif terhadap berbagai permasalahan dengan mencetak generasi unggul yang kompeten, adaptif terhadap teknologi modern, berjiwa nasionalis, dan kompetitif." ucapnya.

Negara-negara maju, Dina melanjutkan, kini mulai mengalami masa aging population, di mana populasi usia lanjut mendominasi sementara populasi usia produktif menurun. "Indonesia memiliki satu dekade untuk mengoptimalkan penguatan SDM sebelum bonus demografi berakhir sia-sia." kata Dina.

Baca juga: BI Kembali Tahan Suku Bunga Acuan di Level 6,25% per Juni 2024

Dina mengatakan, alokasi pembangunan SDM, seperti penelitian, pendidikan, pelatihan, dan pengembangan karya, perlu disesuaikan dengan visi masa depan Indonesia.

Selain itu, generasi produktif harus diarahkan untuk mengaktualisasikan kemampuan terbaiknya di ruang-ruang yang disiapkan oleh negara. "Dengan demikian, generasi dengan inferioritas white skin syndrome akan berkurang, dan Indonesia akan memiliki SDM yang kapabel dan kompeten," pungkasnya.

55

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR