Jakarta, Gatra.com – Dua warga Kalimantan Barat (Kalbar), yakni Abdul Karim dan Hasnah mengharapkan mendapat keadilan di akhir masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terkait tanahnya yang diklaim oleh salah satu perusahaan.
“Mudah-mudahan Pak Jokowi di detik-detik terakhirnya bisa merespons tentang kebenaran,” kata Abdul Karim dalam konferensi pers di Jakarta pada akhir pekan ini.
Abdul Karim yang karib disapa Pak Haji ini menceritakan keluh kesahnya untuk memperoleh keadilan atas tanah yang dimilikinya. Ia bahkan harus merasakan dinginnya jeruji besi karena mempertahankan tanah miliknya.
Abdul Karim meminta Presiden Jokowi memberikan kado terindah kepadanya dan Hasnah serta rakyat Indonesia yang sedang mencari keadilan sebelum menyelesaikan masa tugasnya. Terlebih, menghadirkan keadilan hukum itu merupakan visi-misi Jokowi.
“Mudah-mudahan di akhir pemerintahan beliau ini menjadi kado, dapat respons atas keluh kesah, ketir, dan kesedihan saya yang dizalimi dan dikriminalisasi,” ucapnya parau.
Abdul Karim menceritakan, awalnya membeli tanah dari Abdul Samad pada tahun 2010. Saat itu, tanah tersebut berada di Kabupaten Mempawah dan setelah dimekarkan masuk ke Kabupaten Kuburaya.
“Alas hak yang saya miliki dari Pak Samad itu jelas. Kalau tidak jelas saya akan masuk penjara dengan putusan kemarin, enggak mungkin bebas murni,” ujarnya.
Ia menegaskan, surat adat Abdul Samad sebagai alas hak atas tanah tersebut sangat kuat. Pasalnya, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang (UU) Pokok Agraria yang kedudukannya hampir sama dengan UUD 1945.
“Masalah pertanahan ini, hukum Agraria yang berlaku di negara ini berdasarkan Hukum Adat,” tandasnya.
Dalam proses pengajuan setifikat ke BPN, ujarnya, tiba-tiba muncul klaim dari PT Altrack 1978 Cabang Pontianak bahwa tanah Abdul Karim dan Hasnah merupakan milik dari Siti Hartati Murdaya.
Menurut Karim, perusahaan tersebut mengklaim berdasarkan SHM 13600 yang diduga keras cacat hukum, di antaranya lokasi tanah di sertifikat itu bukan di atas tanah miliknya dan Hasnah. Ini sebagai mana disampaikan pihak penjual tanah kepada Siti Murdaya di persidangan.
Kemudian, dalam pengukuran juga janggal karena pihak pembeli tidak hadir karena tengah berada di dalam penjara, tetapi ada tanda tangannya sebagai pihak yang menyampaikan petunjuk batas tanah yang diklaim.
“Setifikat ini, jangankan warkahnya, sertifikat asal yang dibeli dalam AJB 5523 ini sampai saat ini belum dibalik nama,” katanya.
Kejanggalan lainnya, yakni tanah yang disertifikat itu masih GS. “Ini artinya belum mempunyai peta bidang yang pasti apalagi pada waktu itu belum ada titik koordinat,” tandasnya.
“Anehnya lagi, dengan alasan konsolidasi dia beli 16 Mei di akta jual-beli, tanah ini pelepasan haknya sebelum dibeli sudah dilepaskan. Ini memang sangat kontroversi di luar nalar,” ujarnya.
Kriminalisasi hingga Sempat Rasakan Jeruji Besi
Singkat cerita, kata Abdul Karim, pihak Siti Murdaya kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian atas dugaan penyerobotan tanah sebagaimana Pasal 385 KUHP.
Menurutnya, setelah sekitar 3 tahun menyandang status tersangka, diduga keras karena kolaborasi para penegak hukum hingga tingkat pengadilan, ia pun divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Mempawah dan sempat merasakan dinginnya jeruji besi.
Abdul Karim yang kemudian menjadi advokat atau lawyer pun mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak. Majelis Hakim kemudian melepaskannya dari semua tuntutan pidana atau hukum.
“Mengadili sendiri, perbuatan terdakwa terbukti akan tetapi perbuatan itu bukan perbuatan tindak pidana, melepaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum (onslag vanrcht vervolging), memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya,” kata dia mengutip amar putusan majelis hakim tingkat banding.
Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA menguatkan putusan PT Pontianak. Namun putusannya tidak bulat, 1 dari 3 hakim agung, kata Abdul Karim, yakni Gazalba Saleh menyatakan terdakwa terbukti. Hingga putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) bahkan Abdul Karim dinyatakan tidak terbukti. Sedangkan tanah tersebut kini dibangun kator perusahaan yang mengklaim itu.
Gugat Perdata dan TUN
Abdul Karim dan Hasnah mengajukan gugatan melawan hukum dan tata usaha negara atas penerbitan sertifikat tanah yang diduga keras cacat hukum dan prosedur.
"Saat ini kami menempuh Kasasi di Mahkamah Agung. Saya yakin penuh di tingkat kasasi ada keadilan bagi kami, apalagi ketua Mahkamah Agung sekarang terkenal dengan integritas tingginya,” kata dia.
Abdul Karim menyampaikan, mempunyai 95 alat bukti yang sangat kuat dan selaras sebagai pihak pemilik tanah yang sah. Sedangkan Hasnah ?alat buktinya sebanyak 45. Sebelumnya, puluhan alat bukti ini tidak dipertimbangkan dalam putusan hakim.
“Aneh juga tidak satu pun yang mempertimbangkan, majelis hakim putusan hanya asumsi saja. Salah satunya Hartati itu di penjara, kok ada tanda tanan dia hadir,” ucapnya.
“Mudah-mudahan MA betul-betul dengan 95 alat bukti saya ini yang bersesuai ini harus dipertimbangkan. Kami mencari keadilan,” ucapnya.
Abdul Karim yang juga kini menjadi kuasa hukum Hasnah mengharapkan majelis hakim di tingkat kasasi ini benar-beenar belaku adil dan memutus perkara yang diajukan dirinya dan klien, sesuai dengan fakta-fakta hukum yang berkesesuaian dan valid.
“Kami optimis bahwa masih ada keadilan dan kebenaran untuk kami dan seluruh rakyat Indonesia lainnya. Hukum harus ditegakkan walaupun langit runtuh. Ditegakkan berdasarkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran,” katanya.
Terkait perkara ini, Gatra.com masih berupaya mengonfirmasi pihak terkait. Sementara itu, dilansir dari Inews, telah menghubungi dan menunggu jawaban PT Altrak 1978.