Jakarta, Gatra.com – Beberapa tahun terakhir, industri asuransi jiwa mengalami tren penurunan pendapatan.
Menilik data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), pendapatan premi industri jiwa tercatat senilai Rp177,66 triliun pada 2023. Secara tahunan, angka itu turun 7,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yaitu senilai Rp191,18 triliun.
Pengamat Asuransi, Kapler Marpaung, memandang hal tersebut dipengaruhi oleh sejumlah kasus gagal bayar asuransi yang terjadi, yang berakibat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi jiwa.
Tak hanya itu, Kapler turut menyebutkan masih rendahnya edukasi kepada calon nasabah atau nasabah mengenai produk asuransi jiwa itu sendiri.
Seharusnya, perusahaan asuransi memastikan nasabah untuk mengerti dan memahami fungsi asuransi yang hendak dibelinya.
“Memastikan kepada nasabah apakah sudah memahami arti manfaat dan fungsi asuransi itu. Kita harus yakinkan bahwa nasabah telah memahami, mengerti dengan baik hak dan kewajibannya berdasarkan kontrak asuransi,” tuturnya dalam acara InfobankTalknews ‘Membongkar Kejahatan Korporasi di Sektor Keuangan’, Rabu (24/7).
Selain itu, kasus gagal bayar yang terjadi juga dikarenakan back up reasuransi buruk atau tidak tersedia. Begitu pun dengan cadangan premi atau klaim yang tidak memadai.
Selanjutnya, kesehatan keuangan tidak memenuhi syarat minimum risk based capital (RBC) senilai 120 persen.
Kapler mengatakan kompetensi sumber daya manusia (SDM) di bawah standar minimum dapat mendorong kasus gagal bayar pada asuransi jiwa.
Contohnya banyak mis-selling yang dilakukan oleh agen sebagai garda terdepan dalam memasarkan produk asuransi.
“Agen asuransi yang sangat sering mengatakan bahwa pasti dijamin, uang pasti kembali. Kemudian bilang asuransi unit link itu sama dengan deposito, ini adalah suatu mis-selling. Ini adalah suatu kekeliruan yang sangat besar di dalam memberikan statement kepada calon tertanggung tidak ada jaminan di dalam asuransi,” kata dia.