Home Ekonomi Penerapan Pajak Digital Selalu Kandas, Ini Sebabnya

Penerapan Pajak Digital Selalu Kandas, Ini Sebabnya

Jakarta, Gatra.com - Pada pertemuan G20 di Osaka, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan sulitnya menarik pajak digital. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahazil Nazara, penerapan pajak digital menjadi perdebatan di negara besar di dunia, termasuk di Indonesia.

"Karena yang namanya yang digital itu, di handphone biasanya mainin lagu. Lagu itu ada yang dari Indonesia, ada yang dari luar negeri. Nah itu harusnya kalau beli barang, harus ada pajak pertambahan nilainya atau PPN," kata Suahazil menjelaskan kepada wartawan, di Gedung DPR, Senin (8/7).

Masalahnya, lanjut Suahazil, untuk Pajak pertambahan nilai (PPN) perusahaan digital sulit ditentukan. Apalagi, kebanyakan produsennya berada di luar negeri. Misalnya, perusahaan yang menjual aplikasi dan konten secara komersial kepada masyarakat di Indonesia. 

"Kalau perusahaan punya pendapatan dan keuntungan. Kita punya hak [atau] tidak? Tapi itu pajaknya bukan keuntungan perusahaan Indonesia, tapi mereka jualnya di Indonesia. Nah itu hak pemajakanya bagaimana nantinya," ungkapnya.

Sebabnya, Suhazil menuturkan pada pertemuan G20, pembagian pajak ini terus dibahas sehingga G20 menugaskan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk melaporkan konsep pemajakan di tingkat internasional. 

Harapannya, lanjut Suahazil, hasil studi ini menjadi acuan seperti Automatic Exchance of Information (AEoI) yang didasarkan dari action plan-nya yang diturunkan oleh OECD.

"Jadi OECD sebagai suatu think tank yang ditugasi oleh negara-negara G20 untuk bikin," jelasnya.

Selanjutnya, Suahazil berujar, jika ingin menegenakan pajak pertambahan nilai (PPN) maka harus ditetapkan wajib pungutnya terlebih dahulu. Tapi, Indonesia belum bisa menerapkan wajib pungut PPN bagi perusahaan yang berada di luar negeri.

"Jadi kalau ada perusahaan, lalu menjual barangnya atau output-nya, maka dia memungkut pajak dari pembelinya. Diambil tuh 10% dari customer-nya. Artinya menjadi wajib pungut," ungkapnya.

Menurutnya, perlu skema yang jelas, siapa yang harus memungut PPN saat mendownload lagu di handphone. Misalnya senilai Rp60.000, maka 10% seharusnya terkena PPN. Apabila yang menerima perusahaan luar negeri, maka belum bisa ditentukan. 

Oleh karena itu, Suahazil menambahkan, Pemerintah harus me-review perundang-undangan terlebih dahulu supaya bisa memungut PPN bagi perusahaan di luar negeri, sehingga perusahaan dapat menyetorkan ke kas negara. Ini mekanisme yang telah dilakukan di beberapa negara. 

"Australia yang saya tahu persis. Australia itu kalo misalnya langganan Neflix itu didalamnya sudah ada PPN. Kemudian dia pungut melalui PPN. Kita review sambil menunggu hasil kajian OECD," pungkasnya.

 

373