Home Politik Antara Demokrasi dan Kedaruratan, Justifikasi untuk Mengatur

Antara Demokrasi dan Kedaruratan, Justifikasi untuk Mengatur

Jakarta, Gatra.com - Kaukus Muda Indonesia (KMI) bersama Teater Utan Kayu menggelar diskusi buku berjudul "Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben" karya dari Agus Sudibyo di Kedai Utan Kayu, Jakarta, Jumat (20/9). 

"Buku ini relevan dalam konteks Indonesia saat ini. Tesis Agamben yang menjadi pokok bahasan di buku ini adalah hubungan antara demokrasi dengan kedaruratan," ujar Akademisi dan Pengamat Pajak Yustinus Prastowo yang bertugas menjadi moderator. 
 
Demokrasi, kata Yustinus, seharusnya adalah pengakhiran dari sebuah keadaan darurat, karena demokrasi itu lahir setelah situasi-situasi transformatif seperti revolusi, reformasi, people power, dan sebagainya. 
 
Demokrasi, lanjutnya, seharusnya hidup dalam pernyataan-pernyataan normalitas, tetapi dalam prakteknya, menurut Agamben, tidak jarang demokrasi menggunakan keadaan darurat. Itu dijadikan justifikasi untuk mengatur negara sehingga yang terjadi adalah normalisasi keadaan darurat. 
 
"Dalam contoh kita sekarang, barangkali, kenapa Undang-Undang KPK perlu direvisi? Karena, katanya, ada kedaruratan. Lalu KUHP juga direvisi, karena alasannya ada kedaruratan juga. Atau hal-hal yang lain kenapa harus ada Perpu dan sebagainya," tambahnya.
 
Dalam konteks tersebut, kedaruratan tadi berpotensi menjadi normatif. Dengan kata lain, kedaruratan bisa didengungkan untuk kepentingan politis dalam mengubah sesuatu, sehingga perubahan tersebut dianggap normal belaka dengan dalih kedaruratan.
 
Di sisi lain, ada figur manusia yang berada di antara keadaan alamiahnya dan keadaan politisnya yang disebut Agamben sebagai homo sacer. "Dia yang dieksekusi dalam inklusinya. Dia masuk ke tatanan politik tapi sebetulnya tidak dianggap," terang Yustinus.
 
Dalam konsep warga, Yustinus mencontohkan konsep homo sacer: ada gelandangan yang tidak memiliki KTP, ia masuk dalam komunitas politik namun tidak punya hak sebagai warga negara karena tidak memiliki identitas. 
 
"Dalam konteks lain, hal ini bisa kita temui dalam kaum minoritas Ahmadiyah atau Syiah yang tereksklusi. Itu kira-kira titik tolak yang ada di dalam buku ini," katanya.
 
Penulis buku tersebut Agus Subidyo mengatakan bahwa buku ini, melalui pemikiran Agamben, sangat keras sekali dalam mengkritik demokrasi. "Pemikirannya bisa kita gunakan dalam mengkritik rezim di negeri ini. Oleh karena itu saya bersama beberapa rekan sepakat untuk menerbitkan buku ini setelah Pemilu," ujarnya.
 
"Jadi kalau setelah Pemilu saya agak bebas, juga agar tidak terjebak ke dalam konteks cebong dan kampret," katanya.
 
Sebagai informasi, Giorgio Agamben merupakan filsuf yang berasal dari Italia, lahir tahun 1942, masih hidup hingga saat ini. Pada pokok-pokok pemikirannya, Agamben sangat dipengaruhi oleh filsuf Aristoteles, Martin Heidegger, Carl Schmitt, dan Michael Foucault.
1210