Pekanbaru, Gatra.com - Kalau saja program beasiswa kelapa sawit yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu masih konsisten dengan kesepahaman di Eastparc Hotel Yogyakarta, empat tahun lalu, bisa jadi anak-anak pekebun kelapa sawit swadaya yang ada di perkampungan, sudah banyak yang jadi enterpreneur kelapa sawit.
Tapi sayang, dua tahun belakangan, roh program extraordinary ini dianggap melenceng jauh. Proses seleksi tidak lagi berbasis anak dan kepentingan buruh dan pekebun kampung, tapi sudah melulu berdasarkan prestasi (skor nilai), seleksinya daring alias online pula.
Banyak orang menyebut kalau pergeseran hakikat itu terjadi setelah Asosiasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Sawit (Alpensi) muncul. Lembaga yang diketuai oleh Gunawan Ciptadi yang juga Direktur Politeknik LPP Yogyakarta itu muncul setelah perguruan tinggi yang ikut dalam program beasiswa itu bertambah menjadi enam.
Diploma yang disodorkan pun macam-macam, hampir separuh tidak berhubungan langsung dengan pekebun kampung. Misalnya program diploma tiga Teknik Kimia Industri Hilir Kelapa Sawit.
Lalu ada pula Teknologi Pengolahan Sawit. Kesan bagi-bagi uang sawit pun menjadi kental. Maklum, satu dari enam kampus ini adalah milik perusahaan kelapa sawit raksasa yang selama ini rajin mengirim mahasiswa beasiswa perusahaannya ke Stiper Yogya.
Sejatinya, beasiswa BPDPKS ini dibikin supaya kelak anak-anak petani yang sudah tamat kuliah, kembali melanjutkan usaha kebun sawit orang tuanya dikampung.
Baca juga: Nasib Buntung Anak Pekebun Kampung
"Lah kalau jurusannya sudah Keteknikan, pastilah setelah tamat akan melamar ke perusahaan swasta, sudah meleset dari tujuan awal Beasiswa ini," rutuk Ketua Bidang SDM DPP Apkasindo, Sunyoto.
Dari omongan yang berseliweran, Alpensi ingin, proses seleksi harus objektif dan berdasarkan prestasi. Biar tujuan itu terwujud, kabarnya tahun ini Alpensi menyerahkan proses seleksi beasiswa itu ke Assessment Center (AC), milik Politeknik LPP Yogya.
Ini berarti perjalanan duit beasiswa dari BPDPKS bertambah jauh. "Kenapa musti diberikan ke AC yang notabene milik Politeknik LPP Yogya? Kalau memang harus disubkan, mestinya ditenderkan lah, sebab lembaga assessment di Negeri ini, banyak," rutuk sumber Gatra.com yang tak mau namanya disebut.
Lebih jauh sumber ini merinci, duit untuk proses seleksi tadi tidak sedikit. "Hitung saja, yang mendaftar 4000 an. Anggaran untuk satu orang calon yang akan diseleksi, di atas Rp100 ribu," katanya.
Tahun lalu, kebijakan Alpensi itu mulai dihujani protes. Biar tidak gaduh, DR Purwadi yang saat itu masih menjadi Rektor Institut Pertanian Stiper Yogyakarta berinisiatif mengundang sejumlah pihak untuk duduk bersama mengevaluasi dan merenungkan roh dan hakikat mengapa sampai ada program beasiswa itu. Alpensi juga diundang dan hadir di pertemuan itu.
"Instiper bukan anggota Alpensi. Tapi saya mencoba berinisiatif mengundang dewan pengawas, BPDPKS dan yang lain. Di pertemuan itu kita tanya, kenapa pendaftaran online? Lalu kita juga sarankan supaya seleksi jangan berdasarkan prestasi saja, tapi pertimbangkan juga aspek lain. Anak desa pasti kalah sama anak kota dan kita juga minta dibikin psikotes. Ini terkait minat yang bersangkutan untuk mengabdi ke masyarakat," urai Purwadi.
Tapi sayang, entah lantaran pandemi Covid-19, proses seleksi dari ujian tertulis hingga wawancara, dilakukan secara online.
"Yang saya lihat, memang sudah keluar dari gagasan. Prodinya sudah macam-macam, SDM nya bukan lagi untuk petani," katanya.
Purwadi berharap BPDPKS menengok lagi konsep awal munculnya beasiswa itu. "Tengok lagi apakah pokasi yang ada sudah benar apa belum? Sertifikasi kompetensinya ada apa enggak?," ujar Purwadi.
Mantan Rektor Instiper ini menyebut kalau dikampusnya, jebolan D1 dilengkapi sertifikasi kompetensi. Berbasis Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), lho," katanya.
Dan di Instiper kata Purwadi, program yang ada hanya D1 dan S1. "D1 kita plot untuk mandor kebun rakyat, S1 jadi kader administrator perkebunan dan kader manajer koperasi," Purwadi merinci.
Selama ini kata Purwadi, Instiper sudah mewisuda ribuan sarjana yang konsen dengan kelapa sawit. Kebetulan, sejumlah perusahaan kelapa sawit besar, mempercayakan orang-orang pilihannya untuk kuliah di sana.
Di Stiper sendiri, untuk menjadi sarjana penuh, cuma butuh waktu 3,5 tahun. Formulanya kami bikin beda. Kalau perguruan tinggi lain magang 2 kali, Stiper 2,5 kali.
Lalu kalau libur perguruan tinggi lain 2 bulan, "Kita hanya 2 minggu. Itulah makanya kita bisa lulus 3,5 tahun plus magang," katanya.
Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung tak menampik kalau urusan beasiswa itu menjadi kisruh. Sebab dia sangat paham, seperti apa kondisi anak-anak petani di kampung.
“Coba Anda bayangkan, ada anak yang harus memanjat pohon supaya bisa dapat sinyal demi mengisi soal yang ada. Belum lagi anak itu harus terus membelalakkan matanya demi menengok layar HP yang sudah buram,” cerita kandidat doktor lingkungan Universitas Riau ini.
Dari segi waktu ujian kata ayah dua anak ini, gila-gilaan. “Masa 6 menit untuk menjawab 40 soal? Ini maksud Alpensi apa? Emang dia lagi mengetes calon-calon manager PTPN, apa? Yang bikin paling sedihnya, banyak orang tua yang notabene petani di kampung-kampung menitip protes melalui WA Group Apkasindo. Katanya, saat sesi wawancara, tiba-tiba jaringan putus dan kehabisan paket data. Wawancara kan video call, jadi butuh jaringan full,” ujar Gulat.
Menengok semua kenyataan ini, Apkasindo kata Gulat meminta supaya BPDPKS mempertimbangkan cara lain untuk menseleksi anak-anak petani dan buruh tani ini di tahun depan.
Jika masih tetap memakai Alpensi dan seleksi secara online, maka kami Apkasindo yang tersebar di 118 Kabupaten Kota dari 22 Provinsi, sepakat untuk memboikot beasiswa itu.
Lagi-lagi, meski sering kelihatan online, Ketua Umum Alpensi, Gunawan Ciptadi, tidak kunjung menjawab pertanyaan yang disodorkan Gatra.com melalui WhatsApp.
Di sisi lain, BPDPKS yang kini dikomandani oleh Eddy Abdurrachman, kelihatan tak mau kisruh beasiswa ini berkepanjangan. "BPDPKS siap melakukan evaluasi menyeluruh. Kita akan libatkan pemangku kepentingan, termasuk asosiasi petani, supaya program ini menjawab kebutuhan tenaga terdidik sawit yang sesuai dengan karakteristik kebutuhan perkebunan sawit kita, terutama perkebunan yang dikelola oleh rakyat. Para pemangku kepentingan itu juga akan dilibatkan secara lebih proporsional," kata Direktur Penyaluran Dana BPDPKS, Edi Wibowo kepada Gatra.com, Sabtu (19/9).
Abdul Aziz