Siak, Gatra.com - Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Riau di lahan kebun kelapa sawit milik PT Wana Subur Sawit Indah (WSSI) di Kecamatan Koto Gasib, Kabupaten Siak, Riau, belakangan jadi gunjingan.
Maklum, perusahaan kelapa sawit yang sudah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6000 hektar lebih sejak 20 tahun lalu itu, ketiban durian runtuh.
Entah siapa yang menanam, kemudian tumbuh akasia di sana, di lahan yang kata banyak orang, sampai sekarang belum pernah diusahai.
Untuk menebangi 'kebun' akasia seluas 1.577 hektar dengan dalih pembersihan agar bisa ditanami kelapa sawit inilah, IPK bernomor Kpts.18/DPMPTSP/2021 itu dikeluarkan.
Mendengar bakal ada penebangan akasia, masyarakat Kampung Buatan I dan Buatan II, Kecamatan Koto Gasib, heboh. Heboh lantaran perusahaan sampai sekarang tak kunjung merealisasikan kebun plasma yang dijanjikan.
Persoalan ini pun sampai kemana-mana, parlemen setempat bereaksi, begitu juga Bupati Siak. Singkat cerita, gelombang suara agar IPK itu dicabut, terus membesar.
Namun DPMPTSP Riau berdalih, pemberian IPK itu sudah sesuai prosedur. Gunanya untuk melanjutkan proses pembangunan perkebunan sesuai Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2020/2021 perusahaan.
"IPK itu sudah sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK) Nomor P.62/Menlhk-Setjen/2015 tentang Izin Pemanfaatan Kayu," kata Kepala Bidang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan DPMPTSP Riau, A Vera Angelika dalam keterangan tertulisnya belum lama ini
Vera pun menjelaskan bahwa PT WSSI telah melakukan tahapan permohonan sesuai ketentuan.
"Kita juga sudah berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah III di Pekanbaru untuk menindaklanjuti permohonan IPK PT WSSI. Dari hasil koordinasi dan pertimbangan teknis yang adalah kemudian pengajuan perusahaan dikabulkan," Vera merinci.
Senin (19/7) lalu, Pemerintah Kabupaten Siak menggelar pertemuan dengan DPMPTSP Riau. Pertemuan itu dihadiri Kepala Dinas Perkebunan dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau.
Dalam pertemuan yang tak dihadiri perusahaan itu, Kepala DPMPTSP Riau Helmi bersikukuh bahwa IPK PT WSSI sudah sesuai prosedur.
"Semua rekomendasi yang diberikan perusahaan lengkap," Asisten I Sekdakab Siak, Budhi Yuwono yang hadir langsung dalam pertemuan itu, menirukan omongan Helmi.
Rekomendasi itu kata Budi ada sekitar 20, termasuk dari BPKP dan DLHK. Lantaran banyak yang terlibat, DPMPTSP Riau berkesimpulan, kalau IPK itu dicabut atau dibatalkan, musti oleh pengadilan. "Harus putusan PTUN, enggak ada cara lain," ujar Budi.
Tapi, Kasubag Bantuan Hukum Sekdakab Siak, Hasrafli justru mengatakan kalau IPK itu bisa saja dibatalkan.
"Ada tiga cara membatalkan IPK itu. Pertama, izinnya berakhir. Kedua, dibatalkan oleh pejabat yang mengeluarkan IPK dan yang ketiga dibatalkan oleh pengadilan (PTUN)," ujar Hasrafli kepada Gatra.com, Kamis (22/7).
Hanya saja untuk poin pertama kata Hasrafli, tidak mungkin dilakukan lantaran IPK PT WSSI itu masih berlaku.
"Namun poin kedua, mungkin bisa dilakukan oleh DPMPTSP Riau. Caranya, cek ulang prosedurnya, apakah dari substansi kewenangan ada cacat hukum atau tidak. Kalau ada yang cacat hukum, bisa saja IPK itu dicabut oleh si pemberi izin," ujarnya.
Hasrafli kemudian mengulas poin D prosedur mendapatkan IPK dari DPMPTSP Riau. Di poin itu disebutkan bahwa lahan yang akan diberikan IPK tidak berkonflik dengan masyarakat.
"Kenyataannya berkonflik kan? Konflik itu sudah berkepanjangan, bahkan sudah 20 tahun. Dari sini, sangat memungkinkan IPK itu ditinjau ulang, tanpa menempuh jalur hukum," katanya.
Hasrafli kemudian buka-bukaan soal potensi rupiah yang ada di lahan akasia seluas 1.577 hektar itu. "Dari hasil survei potensi yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Pengelolaan Hutan Produksi, target kayu akasia di atas lahan itu kurang lebih 206 ribu meter kubik," katanya.
Kalau per meter kubik saja Rp400 ribu, maka duit yang bisa dikantongi dari kayu akasia seluas tadi, mencapai Rp80 miliar. "Itu kalau Rp400 ribu per meter kubik. Bisa saja harga per meter kubik di atas itu," ujarnya.
Pakar Hukum Perhutanan, Dr. Sadino menyebut, kalau lahan HGU tak diusahai sampai 20 tahun, HGUnya tetap masih berlaku sepanjang belum dicabut. Namun lahan itu sudah masuk kategori terlantar.
"Harusnya Kementerian ATR/BPN memeriksa lahan itu dan dijadikan tanah terlantar lantaran tidak digunakan sesuai peruntukannya," kata Managing Partners Kantor Hukum Doktor Sadino & Partners di Jakarta ini kepada Gatra.com.
Kalau kemudian ada kayu akasia tumbuh di lahan HGU itu ujar lelaki 55 tahun ini, mustinya dicari tahu dulu siapa yang menanam.
"Kalaupun kayu itu akan ditebang, sebetulnya cukup mengantongi surat dari desa dan camat tentang asal usul kayu saja," katanya.