Home Info Sawit Menambang Minyak Kuning di Atas Air

Menambang Minyak Kuning di Atas Air

Asahan Gatra.com- Arifin tak punya lahan yang luas. Dia hanya punya dua hektar lahan kebun kelapa sawit. Dari sinilah dia menghidupi keluarganya. Meski begitu dia harus terpaksa "berbagi"penghasilan.

Karena tak mudah bagi pria berumur 50-an tahun ini untuk mengerjakan kebunnya sendirian. Ia terpaksa harus dibantu dua orang setiap kali memanen si buah minyak kuning ini. Padahal, ujar pria setengah tua ini memanen kelapa sawit seorang diri sudah biasa dikerjakannya saat dia masih menjadi buruh kebun pribadi di Riau. Tapi tidak halnya disini. Pria bertubuh besar ini terpaksa harus dibantu tiga orang hanya untuk memanen kebunnya.

Siang itu, dia baru saja memanen hasil kebun sawitnya. Mereka terlihat basah kuyup dan berlumpur. Wajahnya tampak kelelahan. Napasnya turun naik ngos-ngosan, karena barusan mendorong perahu plastik yang terbuat dari belahan drum bekas sejauh 3 kilometer yang berisi sarat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dari kebunnya.  "Satu-satunya transportasi kami untuk mengangkut hasil panen ya dengan perahu ini," katanya kepada Gatra.com, Kamis (9/9).

Hasil panen Tandan Buah Segar (TBS) terpaksa harus diangkut dengan "perahu" plastik yang terbuat dari belahan drum atau derijen bekas yang kemudian ditarik dengan tali mengarungi banjir di desa pinggiran sungai Asahan, tepatnya di Kisaran Asahan Sumut. 

Jarak yang harus ditempuh mereka juga tidak dekat. Rata-rata kebun mereka berjarak 3-10 kilometer dari jalan induk desa  hingga sampai ke perbatasan antara desa dengan sungai Asahan.

Terkadang, mereka harus terpaksa mengarungi banjir setinggi satu meteran  untuk memanen hasil buah.  "Kalau air setinggi ini masih terbilang dangkal. Biasanya bisa setinggi pinggang," kata Arifin sambil menunjuk pinggangnya  kepada Gatra.com.

Bagi petani sawit warga Sei Dua Hulu, kecamatan Simpang Empat, kabupaten Asahan, Sumatera Utara, memanen sawit ditengah banjir harus mereka jalani hampir setiap waktu, karena desa ini nyaris tak pernah kering sepanjang tahun. Desa yang berada di pesisir Sungai Asahan itu  boleh dibilang menjadi kawasan langganan banjir, karena menjadi hilir dari aliran Danau Toba.
 
Untuk memanen buah sawit disini, tentu saja tingkat kesulitannya cukup tinggi, dibanding perkebunan kelapa sawit yang berada diatas dataran lebih tinggi. Selain tingkat kesulitan dalam memanen, mirisnya, hasil panen juga tidak bisa  maksimal. Karena terendam banjir yang hampir terjadi di sepanjang tahun itu, produksi TBS juga menjadi rendah.
 
"Dari per hektar perbulannya hanya bisa satu ton, itupun sudah hebat,'kata Ismail. Petani kelapa sawit ini menyebutkan, hasil tidak maksimal karena petani kesulitan untuk memupuk tanaman. Tentu saja karena banjir yang nyaris tak pernah surut disepanjang tahun itu membuat petani  tidak bisa  memberikan perawatan tanaman dengan baik.
 
Hasil panen juga yang tidak bisa  maksimal pula karena hasil panen yang sering hilang karena tenggelam  ke dalam lumpur dan genangan banjir. Makanya,  tak jarang jika banjir besar, mereka harus terpaksa menyelam.
 
Kondisi ini terjadi bukan hanya di kawasan ini. Para petani kelapa sawit di sepanjang hilir sungai Asahan, mengalami persoalan serupa. Dalam  20-30 puluhan tahun,  ribuan hektar areal rawa dan gambut di kabupaten ini yang dulu menjadi daerah resapan air, disulap masyarakat menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Bahkan tak sedikit pula areal persawahan ikut beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit karena tergiur dengan potensi penghasilan yang lumayan besar dibanding bertani sawan padi. 
 
Perkebunan kelapa sawit saat ini menjadi tanaman primadona di kabupaten Asahan. Bukan hanya di dataran tinggi dan sedang,  bahkan di sepanjang sungai Asahan, dari hulu hingga hilir sebagian besar telah disulap menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Tak jarang ditemukan di daerah ini, kawasan DAS ikut ditanami menjadi perkebunan penghasil minyak Cruide Palm Oil (CPO), baik oleh perusahaan perkebunan besar swasta, BUMN maupun oleh perkebunan rakyat. 
 
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2018, produksi kelapa sawit rakyat di kabupaten Asahan mencapai lebih dari 1,622 juta ton per tahun dengan luas areal perkebunan 77,106 hektar. Sementara produksi TBS tahun 2019  mencapai lebih dari 1,647 juta ton, atau naik sebesar 25,6 ribu ton lebih (1,5 persen) dari produksi tahun 2018. Sedangkan pada tahun 2020 produksi TBS dari perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai lebih dari 1,611 ton. 
 
Jika dari besar produksi tahun 2020, maka produksi TBS dari perkebunan sawit rakyat tersebut memberikan kontribusi sebesar 49,7 persen lebih dari total produksi kelapa sawit kabupaten Asahan sebesar 3.239 juta ton. 
 
Namun, meski sawit menjadi salah satu komoditas utama dari kabupaten ini, sayangnya Pemkab Asahan belum memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap perkebunan kelapa sawit rakyat. Ribuan petani sawit berskala kecil belum menikmati kontribusi pemerintah daerah  dalam proses pertumbuhan ekonomi petani sawit skala kecil. 
 
Terutama untuk para petani yang berada di kawasan pesisir di sepanjang sungai Asahan yang kebunnya sering luluh lantak menjadi bulan-bulanan banjir dari hulu sungai yang berada di Danau Toba akibat ketinggian air yang tidak tertampung lagi. "Dulu pernah ada, bantuan satu unit kapal keruk, itupun hanya setahun saja,"kata Ismail. 
 
Menurut para petani sawit ini, kedatangan kapal keruk yang akan dioperasikan di sungai yang memiliki panjang 147 kilometer itu, sempat disambut girang gemirang oleh warga. Karena kedatangan kapal keruk itu setidaknya akan menyelesaikan dua persoalan besar yang dihadapi oleh warga disana, yakni menyelamatkan areal pertanian dan sekaligus menyelamatkan rumah warga dari rendaman banjir yang terus meluluhlantakkan aktivitas ekonomi masyarakat.  
 
Akan tetapi, harapan itu tidak terwujud. Kapal keruk mini yang diberi nama KM Syech Silau I bantuan dari Badan Otorita Asahan di tahun 2011 yang diperuntukkan untuk mengeruk sedimentasi sungai Asahan  itu tidak mampu menyelesaikan persoalan. Karena operasional kapal tidak maksimal, dan sering  mengalami kerusakan, apalagi dengan kapasitasnya yang kecil. 
 
Selain itu proyek pengerukan sedimentasi sungai itupun tidak berjalan lama, hanya satu tahun anggaran. Kini, kapal keruk itu sudah mangkrak dan menjadi besi tua, tertidur pulas dipelukan rawa-rawa di dusun 5, Desa Sei Dua Hulu. Mirisnya, kapal ini dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah daerah setempat.
 
Pemerintah daerah ini sepertinya tidak memiliki konsep dan strategi bagaimana untuk menggairahkan perkebunan sawit rakyat kecil. Soalnya, dari sisi lain, kesungguhan untuk ini juga belum ditunjukkan Pemerintah Kabupaten Asahan untuk membangun perkebunan rakyat  dengan serius 
 
Salah satunya diamtaranya belum ada langkah nyata dari pemerintah daerah itu untuk mendobrak perusahaan-perusahaan perkebunan untuk menjadikan perkebunan kelapa sawit rakyat skala mikro sebagai areal perkebunan plasma 20 persen dari luas lahan yang dikuasainya, sebagai realisasi tuntutan dari Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98/Permentan/OT.140/9 2013,.
 
Padahal terdapat lebih dari 30  perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta dan BUMN di daerah ini. Untung saja ada program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diturunkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) kepada para petani kecil, setidaknya bisa mengurangi beban mereka.
 
Bahkan lucunya, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Pemkab Asahan, Rasyid Tambunan mengatakan, pihaknya tidak memiliki data tentang perkebunan plasma. "Kami tidak punya data tentang kebun plasma. Saya pun tidak tahu yang mana kebun plasma. Kalaupun ada,  ya..., plasma ecek-eceklah,"ketusnya.
 
Artinya, keberadaan Kebun plasma di kabupaten ini  bisa jadi ada atau bisa jadi tidak. Tidak bisa dibayangkan, ratusan ribu hektar areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan perkebunan diragukan keberadaan plasmanya. Akhirnya, Rasyid mengakui, perhatian pemerintah kabupaten Asahan masih sangat rendah. "Kegiatan masih sebatas pelatihan, pengendalian Hama Pengganggu Tanaman (HPT) dan pelatihan pembuatan pupuk organik," sebut Tambunan.
 
Hanya masih sebatas itu. Padahal saat ini pemerintah RI sedang berjuang mati-matian  menghadapi kampanye uni eropa terhadap penolakan minyak kelapa sawit, yang jelas akan berdampak terhadap perekonomian nasional, lewat gugatan sengketa atas regulasi Renewable Energy Directive II (RED II) Uni Eropa di forum Dispute Settlement Body (DSB) WTO (sengketa DS 593) yang sampai saat ini masih bergulir.
571