Home Kesehatan Terapi Cuci Otak, Penyebab Pemecatan Eks Menkes Terawan dari IDI

Terapi Cuci Otak, Penyebab Pemecatan Eks Menkes Terawan dari IDI

Jakarta, Gatra.com – Mantan Menteri Kesehatan (Menkes), Dr. dr. Terawan Agus Putranto, resmi dipecat permanen dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Keputusan tersebut dinyatakan IDI dalam Muktamar IDI ke-31 di Banda Aceh, Jumat, (25/3).

Terapi cuci otak (brainwash) yang belum terbukti ilmiah disebut menjadi penyebab dipecatnya Terawan. Hal itu diungkapkan anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI, dr. Muhammad Munawar.

“Kesalahan dari [Terawan] ini adalah melakukan pengobatan yang belum terbukti kehandalannya,” kata Munawar kepada Gatra.com melalui pesan teks, Sabtu, (26/3).

Menurut Munawar, setiap pengobatan atau tindakan medis harus memenuhi dua syarat utama, yaitu keamanan (safety) dan kehandalan (efficacy). Tak hanya itu, ia juga menyebut pengobatan juga harus rasional.

“Harus mengikuti nalar medis. Kalau tidak ikut nalar ya nggak boleh. Mengikuti nalar saja tidak cukup. Harus terbukti secara ilmiah yang sekarang dinamakan mengikuti evidence based medicine (EBM),” jelas Munawar.

“Sekali lagi menyangkut keamanan dan kehandalan dari tindakan itu. Aman tetapi tidak menyembuhkan, nggak boleh. Menyembuhkan bukan hanya dari testimoni. Harus dibuktikan benar-benar secara objektif dan ilmiah,” imbuh Munawar.

Terapi cuci otak (brainwash) atau intra arterial heparin flushing (IAHF) sudah ditelaah Satuan Tugas (Satgas) IAHF Kementerian Kesehatan pada 2018 silam. Hasil kajian tersebut mengatakan bahwa praktik terapi IAHF berpotensi menimbulkan banyak masalah.

Dari laporan Satgas IAHF bertajuk “Kajian terhadap Metode ‘Intra-Arterial Heparin Flushing’ (IAHF) sebagai Terapi” yang dirilis Juli 2018 yang diterima Gatra.com, praktik terapi IAHF berpotensi memunculkan empat buah masalah.

Pertama, terapi IAHF belum terbukti secara ilmiah bisa memberikan keamanan dan manfaat bagi pasien. Kedua, tidak selaras dengan etika kedokteran. Ketiga, berpotensi melanggar berbagai Undang-Undang (UU) seperti UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Keempat, belum ada standar kompetensi praktik terapi IAHF yang dikeluarkan Konsil Kedokteran Indonesia.

528