Kutim, Gatra.com - Asmuni nampak tertegun menengok hamparan tanaman kelapa sawit tak terurus di Blok E15 Desa Tanjung Labu Kecamatan Rantau Pulung Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur itu, dua hari lalu.
Tatapan mata yang mulai rabun itu masih lekat di pepohonan sawit seluas satu hektar yang menyempil di antara tanaman sawit lain yang malah terurus.
Ayah tiga anak ini ditemani oleh Frans Hewot, Kepala Dusun II Desa Tanjung Labu, Yohanes Bapista dan Ketua RT 7, Mateus Moa. Semuanya warga transmigrasi.
"Lahan ini milik saya, Lahan Usaha-2 (LU-2) yang diberikan pemerintah kepada saya sebagai peserta transmigrasi tahun 1996 lalu. Sertifikatnya masih saya simpan," bergetar suara lelaki 57 tahun ini cerita kepada Gatra.com, masih berdiri di jalan blok kebun itu.
Asmuni lanjut cerita, pada tahun 2009, PT. Nusa Indah Kalimantan Plantations (NIKP), perusahaan kelapa sawit milik orang Singapura merampas semua lahan LU-2 milik warga desa. Totalnya mencapai 200 hektar.
Dibilang merampas lantaran perusahaan tidak pernah ngomong kepada mereka bahwa lahan itu akan digarap untuk ditanami kelapa sawit.
"Pokoknya main gusur saja. Siapapun yang protes, tidak dihiraukan. Perusahaan mendirikan Koperasi Plasma Sari untuk menaungi warga. Tapi sampai hari ini koperasi itu tidak pernah membikin kesepahaman dengan kami," ujar lelaki asal Desa Bacem Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora Jawa Tengah ini.
Lantaran sudah lelah menunggu kepastian, hasil kebun yang sudah ditanami sawit itu pun tak pernah dia nikmati, ditambah lagi mediasi-mediasi yang tak pernah ada ujungnya, membuat Asmuni pada 2014 mendatangi Syaifudin, bendahara Koperasi Plasma Sari untuk meminta penjelasan.
"Uangmu enggak akan hilang," jawaban si bendahara ini sontak membikin Asmuni naik darah. Dia pun pergi mematok lahan yang dia persoalkan itu dengan harapan pengurus koperasi menyusulnya ke kebun. Harapan itu sirna. Pengurus koperasi tak perduli.
Yohanes tak menampik apa yang dibilang Asmuni tadi. Lelaki 60 tahun ini pun cerita bahwa sampai hari ini masyarakat Desa Tanjung Labu tidak bisa berkutik.
"Kalau misalnya ada kebun yang kemudian tak dikelola lagi oleh perusahaan, itu karena pemilik lahannya terus melakukan perlawanan. Kayak Pak Asmuni lah. Lantaran terus melakukan perlawanan, dari 2014 kebun itu dibiarkan perusahaan. Tapi Pak Asmuni tetap tidak bisa menggarapnya,"" katanya.
Sementara yang tak berani melawan, lahannya tetap digarap oleh perusahaan. "Tanggal 5 Januari lalu ada juga pertemuan di kantor Camat Rantau Pulung. Tapi perwakilan koperasi dan perusahaan tak hadir. Tadinya Camat minta supaya lahan kami itu dilepaskan perusahaan," ujar ayah 5 anak ini.
Yohanes, Asmuni maupun Mateus kemudian menaruh harap agar pemerintah, khususnya otoritas transmigrasi yang kini ada di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mau menyelesaiakan masalah yang sedang mereka hadapi.
"Kepada Bapak Presiden kami juga sangat berharap. Tolong kami Pak Jokowi. Lahan kami dirampas asing!," kata Asmuni.
Menurut Yohanes, tanah yang diambil perusahaan itu adalah hasil pemberian pemerintah kepada kami warga transmigrasi.
"Sebagai warga transmigrasi kan kami dikasi lahan 2 hektar. Semuanya bersertifikat. Lahan LU-2 satu hektar, LU-1 setengah hektar dan lahan pekarangan rumah setengah hektar. Tapi LU-2 itu dirampas oleh orang asing yang mendirikan perkebunan kelapa sawit di desa kami," ujarnya.
Pakar hukum yang juga Dewan Pakar Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Dr. Sadino, malah miris dengan apa yang dialami oleh warga transmigrasi tadi.
"Kalau lahan warga transmigrasi itu sudah Sertifikat Hak Milik (SHM), ini berarti perusahaan sudah memasuki lahan orang lain. Apalagi perusahaan baru masuk tahun 2009. Ini enggak boleh. Mestinya saat proses pengurusan izin, lahan itu di-enclave. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah perusahaan ini sudah punya Hak Guna Usaha (HGU) atau belum? Ini perlu dicari tahu," katanya.
Jika kemudian warga transmigrasi dijadikan mitra, mestinya ada hitung-hitungan, ada kesepahaman. "Sebab seperti yang sering saya bilang, sepanjang produk hukum --- surat tanah; apakah itu SHM, SKGR, SKT --- tidak ada yang membatalkan, lahan itu tetap saha menjadi hak milik. Termasuk para warga transmigrasi itu," lelaki 57 tahun ini memastikan.
Lantaran ini terkait dengan warga transmigrasi kata Sadino, kewajiban kementerian transmigrasilah yang menyelesaiakan persoalan itu. "Jangan dibiarkan," pintanya.
Sayangnya, permintaan konfirmasi yang dilayangkan oleh Gatra.com kepada manager PT. NIKP, Jimi Simatupang sampai hari ini belum berjawab. Pesan elektronik yang dikirim hanya dibaca.
Abdul Aziz