Kutai Timur, Gatra.com - Banyak orang bertanya-tanya siapa sosok kuat di balik aktifitas PT. Nusa Indah Kalimantan Plantations (NIKP) di Kecamatan Rantau Pulung Kabupaten Kutai Timur (Kutim) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
Soalnya anak perusahaan International Metalworking Companies B.V. (IMC Group) ini bebas menggasak tanah-tanah redistribusi yang disiapkan oleh pemerintah pusat untuk masyarakat transmigrasi, menjadi perkebunan kelapa sawit.
Tak hanya itu, semua Lahan Usaha-2 (LU-2) milik warga transmigrasi, mulai dari Satuan Pemukiman (SP) 1-6, juga diambil perusahaan yang berkantor pusat di Singapura itu dan kemudian ditanami kelapa sawit.
Dan yang semakin membikin orang merasa heran adalah; perusahaan ini bisa punya kebun kelapa sawit ribuan hektar dan saat ini tanaman itu sudah berumur antara 12-13 tahun, cuma bermodalkan ijin lokasi.
Punya kebun kelapa sawit ribuan hektar hanya bermodalkan ijin lokasi ini ketahuan dari isi surat Direktur PT. NIKP kepada Bupati Kutim pada 28 Januari 2013.
Pada surat bernomor 003/DIR-NIKP/I/2013 yang diteken oleh Harry N.P. Danardojo itu ada tertulis begini;
Merujuk Perpanjangan lzin Lokasi PT. NIKP No. 525.261/ K.429/HK/2012, Tanggal 31 Mei 2012, dapat dilaporkan kepada Bapak bahwa Progress Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit PT. NIKP yang telah dilaksanakan (per 31 Desember 2012) adalah seluas 6.363 hektar yang terdiri dari:
Luas Penanaman pada areal KBNK + HPL = 5.136 Ha
Luas penanaman pada Lahan Usaha-2 (LU2) = 1.227 Ha
Sehingga sampai saat ini telah dibangun kebun masyarakat, dengan rincian sebagai berikut:
1. Kebun Kemitraan LU-2 seluas : 1.227 Ha, dengan rincian sebagai berikut :
- Tahun Tanam 2009 = 480 Ha
- TahunTanam 20l0 = 516Ha
- Tahun Tanam 2011 = 231 Ha
2. Kebun Plasma (20% dari KBNK+HPL=5.136 Ha) seluas kurang lebih 1.062 ha, dengan rincian sebagai berikut:
- TahunTanam 2009/2010 = 567 Ha
- Rencana Penanaman Tahun 2013 = 495 Ha
Lalu ada juga peta bidang kadastral yang memuat riwayat izin lokasi perusahaan yang telah mengalami perubahan hingga tiga tahap.
Pada ijin lokasi tahap pertama (2007-2009), luas lahan masih mencapai 17.259 hektar. Di tahap kedua (2009-2011), luasan itu berkurang menjadi 16.720 hektar dan di tahap ketiga (2011-2013) menjadi 15.944 hektar.
Kepada Gatra.com, Bendahara Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPD-Apkasindo) Kutim, M. Guntur Pramono cerita, sampai sekarang lahan plasma seluas 1,062 hektar yang disebutkan oleh perusahaan itu tidak dibagikan kepada masyarakat.
"Yang ada saat ini, justru lahan LU-2 yang seolah-olah jadi plasma. Sementara lahan LU-2 itu milik warga transmigrasi yang diambil begitu saja, tanpa ada perundingan yang jelas dengan pemilik lahan," kata lelaki 46 tahun ini.
Memang, ada perjanjian kerjasama antara koperasi masing-masing SP --- kini berubah menjadi desa --- dengan Koperasi Plasma Sari bikinan perusahaan.
"Tapi perjanjian antara masing-masing koperasi desa dengan para pemilik lahan, enggak ada sama sekali," ujarnya.
Kepala Desa Manunggal Jaya, Marino, tidak menampik omongan Guntur itu. "Memang enggak ada perjanjian apa-apa. Akad kredit enggak ada. Kalaupun koperasi desa ada mengasi uang dari hasil kebun sawit di tanah si pemilik, itu enggak pakai amprah --- rincian --- main kasi begitu saja dan enggak rutin setiap bulan," kata lelaki 40 tahun ini.
Soal koperasi desa yang bernama Bangkit Jaya itu kata Marino, sampai sekarang belum pernah menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT). "Sepanjang saya memimpin desa inilah, sudah 6 tahun, enggak pernah RAT," ujarnya.
Yang membikin ayah tiga anak ini jengkel kepada perusahaan bahwa lahan redistribusi yang ada di desanya juga digarap perusahaan. "Saya sudah surati perusahaan tapi enggak digrubris," rutuk lelaki asal Solo Jawa Tengah ini.
Mendengar cerita persoalan masyarakat di Rantau Pulung itu, Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung mengaku miris.
"Kok bisa ya perusahaan menguasai lahan, menanam sawit dan bahkan sawitnya sudah berumur 10 tahun lebih bisa hanya mengantongi ijin lokasi. Perusahaan asing pula? Ada apa ini?" Doktor agro-ekosistem Universitas Riau ini bertanya.
Dan yang membikin ayah dua anak ini lebih miris lagi, lahan-lahan warga transmigrasi dan lahan redistribusi desa juga diambil perusahaan.
"Ini kan sudah enggak benar lagi. Saya sangat berharap otoritas pertanahan mau menindak yang semacam ini. Dengan mengambil lahan warga transmigrasi seperti itu, ini sama saja dengan mengangkangi kebijakan pemerintah. Warga itu kan dikirim pemerintah ke sana untuk merubah hidup. Kalau kemudian perusahaan ingin mengajak mereka menjadi mitra, lakukan dengan cara-cara yang benar," pintanya.
Kalau ditengok dari umur tanaman yang ada saat ini kata Gulat, seharusnya, kebun itu sudah diserahkan kepada masyarakat (dikonversi).
"Wong sudah lebih 10 tahun. Kan bisa kita hitung biaya investasi untuk satu hektar kebun, seharusnya sudah selesai urusan kredit kalau kemitraan itu sistemnya menggunakan uang bank," ujarnya.
Abdul Aziz