Kutim, Gatra.com - Bundel surat-surat pembagian lahan redistribusi kepada warga transmigrasi di desa Pulung Sari, Margo Mulyo, Mukti Jaya dan Kebon Agung di Kecamatan Rantau Pulung Kabupaten Kutai Timur (Kutim) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) itu masih tersimpan rapi di tas lusu milik Tarkum.
Dalam surat keputusan Bupati Kutim nomor 183.4.45/1351/Hk/XII/2009 itu disebutkan kalau masing-masing warga transmigrasi di desa itu kebagian 2 hektar.
Isran Noor, Bupati Kutim masa itu yang kini menjadi Gubernur Kaltim, melengkapi surat keputusan tadi dengan peta persil lengkap dengan nomor-nomornya.
Hanya saja, semua hamparan tanah ini sekarang tak jelas juntrungannya. PT. Nusa Indah Kalimantan Plantations (NIKP) yang telah lebih dulu sukses 'mencaplok' Lahan Usaha-2 (LU-2) para warga itu, rupanya ngiler juga dengan tanah pembagian tadi.
Ragam carapun dilakukan oleh perusahaan asing asal Singapura itu hingga kemudian pada tahun 2011, semua tanah itu berhasil ditanami kelapa sawit.
Di Desa Margo Mulyo kata Tarkum, 330 hektar lahan warga yang diberikan oleh Pemkab Kutim tadi, sudah berubah menjadi kebun kelapa sawit milik perusahaan.
Padahal sebelumnya, lahan itu sudah diusahai warga dengan ragam tanaman. Mulai dari pisang, jengkol, coklat hingga kopi.
Baca juga: Tujuh Desa di Kutim Ini Ogah Merekom HGU NIKP, Ini Sederet Alasannya
"Sama sekali tak ada perjanjian antara perusahaan dengan masyarakat. Main gusur saja. Warga yang tak mau lahannya ditanami, cuma bisa mengelus dada. Sebab tetap saja lahan itu ditanami perusahaan," cerita lelaki 50 tahun ini kepada Gatra.com dua hari lalu.
Yang membikin warga semakin bingung kata ayah 4 anak ini, beredar pula cerita begini; lahan yang ditanami perusahaan itu tetap milik warga.
"Tapi lantaran lahan itu sudah ditanami sawit oleh perusahaan, maka setiap warga terutang lebih dari Rp100 juta untuk dua hektar kepada perusahaan," ujar warga Desa Margo Mulyo ini.
Sutono tak menampik apa yang dibilang oleh Tarkum. Lelaki 58 tahun ini menjadi salah satu warga yang menolak lahannya ditanami perusahaan. Tono menolak lantaran tidak ada perjanjian yang jelas.
"Di Margo Mulyo ini ada tiga kategori warga terkait lahan redistribusi itu. Pertama; warga yang mau lahannya ditanami dan kemudian dapat bagi hasil. Kedua, mau lahannya ditanami tapi enggak dapat bagi hasil, dan yang ketiga; tidak mau sama sekali lahannya ditanami dan tidak dapat bagi hasil," terang guru SMP Negeri 1 Rantau Pulung ini.
Awal perusahaan akan menggarap lahan warga itu kata Tono, ada 106 kepala keluarga yang kebagian tali asih; Rp4 juta perorang. Ini berarti, tiap hektar lahan itu dihargai Rp2 juta.
"Duit itu bukan untuk ganti rugi tanah, tapi ganti rugi tanaman," terangnya.
Dalam perjalanannya, 28 orang dari yang 106 orang tadi, sampai sekarang tidak pernah mendapat bagi hasil. Mereka senasib dengan yang tak mau lahannya ditanami sawit tadi.
Padahal saat ini saja kata Tono, setiap hektar kebun sawit warga, sudah menghasilkan 3 ton Tandan Buah Segar (TBS) per bulan. Dikali Rp2000 saja sekilogramnya, duitnya sudah Rp6 juta.
"Produksi perusahaan pasti akan lebih dari itu. Selain bibitnya bagus, perusahaan punya tenaga kerja untuk perawatan. Tiap tiga bulan dipupuk. Rotasi panen mereka juga per 11 hari. Beda dengan sawit petani yang rotasi panennya per 15 hari. Nah, kalau hasil perusahaan di bawah 3 ton per hektar, patut dipertanyakan," katanya.
Dari hitung-hitungan tadi kata Tono, sudah pula bisa dihitung berapa hasil sehektar kebun sawit itu dalam setahun.
"Dan berapa pula kerugian warga bila sejak ditanam sampai sekarang, enggak kebagian apa-apa. Salah satunya ya saya," ujarnya.
Gara-gara tidak jelas itu pula kata Tono, dalam waktu dekat pihaknya akan mensomasi perusahaan dan koperasi bikinan perusahaan yang ditugasi untuk membagikan duit kepada masyarakat.
Namanya Koperasi Plasma Sari. Koperasi ini juga yang ditugasi perusahaan untuk membagikan hasil kebun dari lahan LU-2 yang sudah digarap perusahaan sebelumnya.
"Mau lahan LU-2 maupun redististribusi, hitungannya enggak jelas. Enggak transparan. Desember 2022, saya terima duit lahan redistribusi itu dari koperasi hanya Rp400 ribu," cerita Joko Riyadi, warga Desa Manunggal Jaya.
Lelaki 54 tahun ini menyebut, sudah berkali-kali warga meminta bertemu dengan pihak koperasi, tapi belum berhasil.
Terakhir, pekan lalu, warga telah pula mendatangi Badan Perwakilan Desa (BPD) agar memfasilitasi warga bertemu dengan koperasi untuk minta kejelasan kemitraan dengan perusahaan itu.
"Gara-gara koperasi tak jelas itu pula kami tidak memberikan rekomendasi pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan itu," kata Sekdes Tanjung Labu, Mahmud Halim, pula.
Warga mengaku tak tahu sampai kapan nasib mereka akan terus begitu. Soalnya, kalau lahan itu diambil alih, perusahaan gampang saja mengatakan warga maling yang ujung-ujungnya warga itu masuk penjara.
Namun di Margo Mulyo, kesabaran itu agaknya sudah menipis. "Kalau enggak ada juga kejelasan, kami akan duduki lahan itu. Toh itu lahan kami," tegas Tono.
Terkait koperasi yang tak jelas tadi, Kepala Dinas Koperasi UKM dan Ekonomi Kreatif Kutim, Darsafani, minta agar anggota koperasi segera membikin laporan biar satuan tugas segera turun memeriksa koperasi itu.
Abdul Aziz