Home Sumbagsel Kompleksitas Masalah di Lahan Gambut Penyulut Karhutla

Kompleksitas Masalah di Lahan Gambut Penyulut Karhutla

Palembang, Gatra.com - Musim kemarau seakan tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Begitu juga halnya membicarakan Karhutla, perhatian akan tertuju identik dengan lahan gambut, khususnya di Sumatera Selatan (Sumsel).

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan fenomena El Nino akan terjadi di Indonesia pada 2023. Fenomena ini menyebabkan kemarau panjang atau mundurnya musim penghujan yang akan mengancam terjadi Karhutla.

Komplesitas permsalahan gambut dan Kerhutla diulas dalam diskusi publik yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, bertemakan 'Pencegahan Karhutla di Tengah El Nino 2023' Senin (20/3), melibatkan Akademisi, Lembaga NGO/CSO serta Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Pemprov Sumsel.

Direktur Walhi Sumsel, Yuliusman menyampaikan, berdasarkan temuan Walhi Sumsel di 2019, ada 764 ribu Ha atau 62 persen dari total lahan gambut telah dibebani izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Di mana, kawasan konsesi tersebut terlibat dalam Karhutla yang terus berulang.

Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, menjadi salah satu wilayah yang mengalami Karhutla parah pada ekosistem gambut. Karena di OKI, ada 29 perusahaan perkebunan sawit dengan luasan 127.425 hektar. Sebanyak 14 perusahaan beroperasi di ekosistem gambut dengan luas 48.592 hektar.

Dari data Dinas Kehutanan Sumsel, pada tahun 2015 ada 377.365 Ha areal terbakar di Kabupaten OKI. Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) Sungai Sugihan – Sungai Lumpur, di mana KHG Sungai Sugihan – Sungai Lumpur ini adalah kawasan hidrologi gambut tersebar di Sumsel 30 persen kawasan gambut ada di KHG ini. Luas KHG Sungai Sugihan – Sungai Lumpur sebesar 633.762 Ha.

"Kemudian dari 60 persen kawasan KHG Sungai Sugihan – Sungai Lumpur ini adalah kawasan lindung. Dari luasan total KHG ini, 85 persen dikuasai oleh korporasi, lebih kurang 464.000 Ha dikuasai oleh IUPHHK-HTI karena wilayah ini dominan lahan gambut," kata dia.

Yulius mengungkapkan, bahwa KHG ini juga merupakan kawasan yang terbesar terjadi Karhutla pada tahun 2015 kurang lebih 189.113 Ha terbakar atau 42 persen fungsi budidaya dan 33 persen fungsi lindung. Termasuk KHG yang sangat rawan terbakar.

KHG Sungai Sugihan – Sungai Lumpur merupakan KGH jumlah sekat kanal terbanyak titik terencana untuk di bangun sekat kanal 1.877 titik dan 657 titik sumur bor yang terencana. Sebagian besar titik terencana ini berada di kawasan HTI 1.221 titik sekat kanal dan 526 titik sumur bor.

"Dari 125 proyek infrastruktur pembasahan gambut, sekat kanal yang telah diimplementasikan di KGH ini, namun tetap pada musim kemarau terjadi kebakaran hutan dan lahan. Bahkan kebakaran terparah terjadi di area yang sedang dilakukan restorasi," katanya.

Sementara, Tenaga Sub Profesional BRGM DD Sineba dalam forum diskusi tersebut menyampaikan, tiga hal cerminan dari kompleksitas masalah yang terjadi pada peatlands (gambut) di mana di sisi pemerintah yang selalu berbicara pemasukan, devisa juga serapan tenaga kerja.

"Tentu aspek penting di tengah masyarakat bagaimana meningkatkan added value (nilai tambah) dari produktivitas masyarakat seperti kelapa, tambak dan di sektor pangan. Intervensi pemerintah di tataran pendapatan masyarakat yang berada di areal gambut langkah penting dan konkret dalam hal menciptakan kesejahteraan pada rakyatnya," katanya.

Kemudian banyaknya pihak berkepentingan di dalamnya, secara nasional ada 6000 desa di areal gambut, belum lagi perusahaan di sektor tambang, HTI, dan perkebunan sawit. Adapun yang dinilai paling krusial yakni tidak jelasnya kewenangan dalam hal mengelola lahan gambut.

"Justru kompleksitas permasalahan di lahan gambut ini, menjadi pemicu terjadinya Karhutla. Ini yang harus diurai dan ditangani bersama-sama (keroyokan) sesuai dengan tugas dan fungsi dari suatu lembaga atau badan pemerintah, di samping peran masyarakat setempat. Karena masyarakat ini kewenangannya paling sedikit namun selalu menjadi sorotan jika terjadi Karhutla," imbuhnya.

Ketua Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Sumsel, Dharna Dahlan dalam tanggapannya menyampaikan, yang utama dari Karhutla itu penyebab kebarakan dulu yang perlu diatasi.

"Seharusnya masyarakat di areal lahan gambut harus diberdayakan. Karena jika terjadi kebakaran, maka warga akan lebih peduli untuk melakukan pemadaman, hingga melakukan pencegahan," ujar dia.

Sementara, Akademisi Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang, Dr Yen Rizal mengatakan, Diperlukan kemudian upaya-upaya lain yang mengarah pada posisi dan kondisi warga pada sebuah wilayah, yang menempatkan mereka mampu untuk melakukan aktifitas rutin namun tetap dalam konteks penjagaan lingkungan dari ancaman karhutla.

"Pendampingan komunitas adalah satu hal yang bisa dilakukan, dengan tekanannya bersama-sama warga menciptakan formula baru agar aktifitas yang ada tidak mengganggu keseimbangan lingkungan," katanya.

Lanjutnya, persoalan Karhutla ini memang sangat kompleks, banyak alur yang harus dilewati. "Persoalan Karhutla memang sangat rumit dan sulit diselesaikan. Masalah yang mengemuka dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di antaranya kesulitan dalam koordinasi antar lembaga terkait," imbuhnya, seraya menyarankan agar dibentuk satu lembaga khusus menangangi hal ini.

Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setyo menyampaikan, El Nino 2023 harus bisa diantisipasi lebih baik daripada sebelumnya. Fenomena El Nino 2015 dan 2019 menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam menghadapi karhutla.

Jikalahari menilai, permasalahannya bukan pada gerak cepat dalam menetapkan status siaga darurat, tapi bagaimana memperbaiki tata Kelola lingkungan hidup dan kehutanan sebelum terjadi Karhutla.

478