Jakarta, Gatra.com – Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Johan Muhammad, mengatakan bahwa fenomena alam gerhana matahari hibrida (GMH) yang terjadi pada Kamis, (20/4/2023), pagi ini merupakan gerhana yang spesial lantaran jarang terjadi.
Johan mendefinisikan GMH sebagai gerhana matahari yang tampak dari sebagian wilayah Bumi sebagai gerhana matahari total, tetapi di sebagian wilayah lain tampak sebagai gerhana matahari cincin.
Terjadinya gerhana matahari hibrida, kata Johan, disebabkan oleh berubahnya jarak antara permukaan Bumi yang melengkung dengan bulan sebagai objek yang menghalangi matahari saat gerhana matahari.
“Gerhana matahari total akan teramati khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang terbilang singkat kurang lebih 1 menit, sementara di daerah Indonesia lainnya akan teramati sebagai gerhana matahari parsial,” kata Johan pada Rabu, (19/4/2023), seperti dilansir situs resmi BRIN.
“Gerhana matahari ini akan teramati sebagai gerhana matahari cincin di wilayah selatan Samudera hindia dan Samudera Pasifik,” imbuh Johan.
Pada 20 April 2023 ini, Johan mengatakan bahwa Pusat Riset Antariksa BRIN akan melakukan pengamatan di Biak, Papua. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kota Biak, Papua, akan mengalami durasi fase puncak gerhana matahari total terlama, yakni 1 menit 1,9 detik.
Sebelumnya, terang Johan, pihaknya telah melakukan simulasi prakiraan penampakan gerhana matahari 2023 dengan menggunakan data efemeris bulan dan matahari yang diintegrasikan menggunakan pemrograman komputer. Dengan demikian, visualisasinya bisa ditampilkan sesuai dengan waktu dan lokasi pengamat berada.
Johan memprediksi bahwa gerhana matahari sebagain di Biak akan dimulai pada pukul 12.20 WIT. Sementara gerhana total akan terjadi pada pukul 13.56 WIT, dan puncak gerhana total itu akan terjadi semenit setelahnya, yakni 13.57 WIT. Lalu akhir dari gerhana sebagian terjadi pada pukul 15.26 WIT.
Sementara menurut BMKG, secara umum, gerhana di Papua akan dimulai pada pukul 12.14 WIT. Puncak gerhana akan terjadi pada pukul 13.51 WIT. Gerhana akan berakhir pada pukul 15.30 WIT. Durasi gerhana yang teramati di Papua rata-rata adalah 3 jam 3 menit. Gerhana ini bermagnitudo terentang antara 0,992 di Sorendiweri hingga 0,771 di Merauke.
Menurut Johan, pihaknya akan melakukan pengamatan di Biak dan melakukan kegiatan penelitian yang terbagi ke dalam 3 tim. Tim pertama akan melakukan penelitian matahari, yaitu melakukan prediksi penampakan korona dengan memanfaatkan teknologi artificial intelligence (AI), serta analisis bentuk korona untuk mengetahui fase aktivitas matahari.
Sementara tim kedua akan melaukan penelitian ionosfer. Tim ini akan meneliti dampak gerhana matahari terhadap kondisi ionosfer Indonesia. Lalu tim ketiga akan melakukan penelitian geomagnet, yakni meneliti dampak gerhana terhadap geomagnet.
“Dari penelitian-penelitian ini yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dampak gerhana yang dapat berpengaruh pada teknologi-teknologi di Bumi yang ebrbasis teknologi antaraiksa seperti navigasi dan telekomunikasi,” kata Johan.
“Selain itu, penelitian-penelitian ini dapat menjadi momen untuk melakukan validasi model-model antariksa yang selaam ini telah dibuat. Pengujian ini sangat penting untuk mengetahui seberapa baik model yang ada sehingga dampak negatif cuaca antariksa dapat diantisipasi secara akurat,” tandas Johan.