Home Kesehatan Waspadai Resistansi Antimikroba setelah COVID-19

Waspadai Resistansi Antimikroba setelah COVID-19

Jakarta, Gatra.com– Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mendaftar sepuluh isu kesehatan paling penting di dunia dan termasuk di dalamnya pandemi senyap resistansi antimikroba, salah satunya adalah resistansi antimikroba. 

“Resistansi antimikroba adalah ancaman serius yang jarang disadari, bagaikan pandemi senyap. Padahal, kondisi ini dapat terjadi di mana pun, termasuk di bagian rumah sakit yang diawasi ketat seperti di ruang perawatan intensif (intensive care unit/ICU)," ungkap dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Pratista Hendarjana, SpAn-KIC dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/7).

Untuk diketahui, resistansi antimikroba adalah kondisi berkurangnya kemampuan obat-obatan antimikroba dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit di tubuh pasien. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan antimikroba, termasuk antibiotik dan antijamur, yang tidak tepat baik dari sisi indikasi, dosis, dan rute (cara) pemberiannya.

"Pasien yang dirawat di ICU sedang dalam kondisi kritis dan biasanya memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, menjadikan mereka rawan terhadap risiko AMR,” kata dr Pratista.

Namun, tidak jarang pula ditemukan pasien yang kondisi badannya dari semula memang tidak dapat merespon antibiotik yang diberikan. Laporan WHO menyebut resistansi antimikroba telah menyebabkan sekitar 1,27 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2019.

“Penggunaan antibiotik dan antijamur, termasuk di ICU, harus selalu dilakukan secara rasional dan bijak untuk mencegah risiko pasien mengalami resistansi antimikroba, sehingga infeksi lebih sulit disembuhkan, waktu perawatan pun jadi lebih lama, dan memperbesar biaya perawatan di rumah sakit,” lanjut dr. Pratista.

Umumnya, keahlian tenaga kesehatan terkait akan menjadi salah satu faktor penentu dalam upaya pencegahan resistansi antimikroba di ICU. Namun, diperlukan pula peran serta pasien dan anggota keluarga yang mendampingi perawatan di rumah sakit.

“Komunikasi yang efektif antara pasien atau anggota keluarganya dengan tenaga kesehatan dapat membantu menekan risiko terjadinya resistansi antimikroba di ICU, bahkan meningkatkan kualitas perawatan secara umum,” kata dr. Pratista.

Komunikasi dua arah ini akan memungkinkan keluarga pasien lebih sadar dan paham akan risiko terjadinya resistansi antimikroba. Pemahaman ini tentunya berkontribusi pada diskusi lanjutan seperti penentuan tujuan perawatan, penjelasan dan pengambilan keputusan mengenai rekomendasi medis dari tenaga kesehatan, hingga berujung pada penggunaan antimikroba secara rasional yang akan menekan risiko AMR di ICU.

“Pasien dan keluarganya berhak untuk bertanya, serta mendapatkan informasi dan edukasi yang memadai mengenai alasan, jenis, dosis, lama penggunaan, manfaat, dan risiko terkait penggunaan antimikroba di ICU," katanya.  

Selain itu, tenaga kesehatan juga berkewajiban memberikan semua informasi kepada pasien dan kerabat dekat pasien mengenai penyakit pasien (berdasarkan diagnosis), tindakan medis yang perlu dilakukan dan komplikasi yang kemungkinan terjadi. "Serta tindakan medis alternatif yang dapat dilakukan serta resikonya,” kata dr. Pratista

Pada akhirnya, komunikasi yang efektif ini akan membantu mewujudkan penggunaan antimikroba yang bijak dan rasional, serta mendukung perawatan yang lebih jitu di ICU, yakni tepat waktu (right time)tepat pasien (the right patient condition)dan tepat guna (the right use).

119