Jakarta, Gatra.com- Pandemi COVID-19 menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk membangun sistem kesehatan yang lebih kuat. Pemerintah Australia mengapresiasi kinerja Pemerintah Indonesia dalam mengatasi pandemi COVID-19.
Minister Konselor bagian Tata Kelola Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Madeleine Moss mengatakan, Pemerintah Australia, Indonesia serta sejumlah pihak melakukan kerja sama untuk menjangkau masyarakat yang rentan dan memerlukan vaksinasi di masa pandemi.
“Contoh di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, Yogyakarta dan NTT, Australia dan Indonesia bermitra dengan media, LSM, swasta dan juga kampus untuk membangun materi komunikasi yang inklusif, khususnya melalui media untuk bisa menjangkau mereka yang terganggu penglihatan, pendengaran dan lanjut usia. Lewat kerja sama ini, lebih dari 200 ribu orang yang rentan berhasil divaksinasi,” kata Madeleine dalam webinar bertajuk “Kolaborasi untuk Vaksinasi Inklusif: Pembelajaran untuk Ketahanan Kesehatan Indonesia di masa Depan” yang diselenggarakan oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) pada Selasa (4/7).
Madeleine menambahkan, kolaborasi pemerintah dan swasta dalam mengimplementasikan komunikasi risiko, meningkatkan layanan inklusif serta jejaring yang luas di masyarakat telah berdampak besar pada meningkatnya ketahanan kesehatan masyarakat.
Baca juga: Belajar dari Covid-19, Kemenkes: RUU Kesehatan Komprehensif Tangani Pandemi
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, dalam upaya meningkatkan kolaborasi pemerintah dan swasta untuk memberikan pelayanan inklusif, diperlukan komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat (Risk Communication and Community Engagement/RCCE) terutama untuk mencapai kelompok rentan. RCCE terbukti sebagai komponen penting dalam respons masalah kedaruratan kesehatan masyarakat.
“RCCE menjadi salah satu pilar utama respons penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia dan terus berlanjut hingga saat ini sebagai pilar pendukung keberhasilan vaksinasi,” ungkap Maxi.
Menurut Maxi, strategi vaksinasi inklusi menargetkan 21,5 juta lansia dan 141,2 juta masyarakat umum dan rentan termasuk kelompok disabilitas, orang dengan komorbid, masyarakat adat dan kelompok marginal lainnya.
Berdasarkan data SATUSEHAT pada 1 Juli 2023, sebanyak lebih dari 452 juta suntikan telah diberikan, dan lebih dari 64% dari total populasi Indonesia telah menerima vaksinasi primer lengkap. Sebanyak 18 dari 34 provinsi telah mencapai 70% total populasi untuk dosis 2. Sementara 10 dari 34 provinsi telah mencapai 70% dari populasi lansia untuk dosis 2. Berdasarkan kelompok prioritas, vaksinasi primer COVID-19 pada lansia telah mencapai 70.33% dan pada masyarakat umum/rentan sebesar 70.94 %.
Baca juga: Epidemiolog Ingatkan; Masa Endemi Masyarakat Jaga Kualitas Kesehatan
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan RI, Prima Yosephine Berliana Tumiur Hutapea mengatakan, peran kerja sama kolaborasi pentahelix ini menjadi faktor utama yang membuat Indonesia masuk dalam 5 besar negara di dunia yang paling sukses melakukan vaksinasi. Menurutnya, selama pandemi COVID-19 berlangsung, Kementerian Kesehatan telah menjalankan sejumlah langkah strategis guna mempercepat pemerataan cakupan vaksinasi pada kelompok berisiko tinggi.
“Kementerian Kesehatan selama masa pandemi telah melakukan tiga strategi, yang pertama, inovasi di jalur vaksinasi, yaitu dengan melibatkan lintas sektor,” jelas Prima. Yang kedua, inovasi pada kebijakan, misalnya menerbitkan Surat Edaran Menkes Tahun 2021, tentang percepatan pelaksanaan vaksinasi COVID-19 bagi kelompok-kelompok tertentu dan penyederhanaan formulir skrining.
“Serta yang ketiga, inovasi dari pelaksanaan vaksinasi inklusif. Mulai dari pendaftaran hingga ke pengantaran didukung oleh organisasi masyarakat, rekan-rekan dari organisasi profesi dan keagamaan, serta melakukan integrasi dengan layanan-layanan primer lain yg sudah ada di masyarakat. Misalnya melalui Posbindu untuk vaksinasi lansia,” sambung Prima.
Baca juga: Cabut Pandemi Pemerintah Tetap Cawe-cawe, Semua Terlayani
Salah satu kisah sukses partisipasi publik dalam meningkatkan pelayanan kesehatan inklusif adalah strategi Jogo Tonggo di Jawa Tengah. Strategi ini memberdayakan masyarakat meredam penularan COVID-19. Jogo Tonggo mengandalkan partisipasi aktif warga di wilayah administrasi terkecil tingkat RT/RW.
Strategi Jogo Tonggo membuat masyarakat di Jawa Tengah bisa saling menjaga, memperhatikan, dan membantu merawat satu sama lain jika di lingkungannya ada yang terpapar virus Corona. Aplikasi program yang diresmikan lewat Instruksi Gubernur Nomor 1 Tahun 2020 itu kini sudah meluas ke pasar, pesantren, perkantoran, dan tempat wisata.
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Jawa Tengah, Irma Makiah mengatakan, Jogo Tonggo ini bertujuan untuk mempercepat penanggulangan COVID-19 dengan cepat dan terstruktur. Salah satunya adalah vaksinasi.
“Saat vaksin dimulai awal Januari 2021, kita mulai untuk tenaga kesehatan sampai tingkat RT. Kita ada masalah sosial seperti penolakan dari warga terkait efektivitas vaksin untuk atasi COVID-19. Kita lakukan sosialisasi dengan Jogo Tonggo ini, mendata warga hingga layani vaksinasi dari pintu ke pintu,” ujar Irma.
Baca juga: Covid-19 Masuki Masa Endemi, Masyarakat Diimbau Tetap Jalankan Pola Hidup Sehat
Irma menambahkan, kolaborasi pentahelix yang didukung Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan juga dilakukan bersama teman-teman Jogo Tonggo untuk mempercepat vaksinasi.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan, Dyah Puspita Dewi mengatakan, Pemerintah Kabupaten langsung melakukan kolaborasi dengan sejumlah pihak termasuk aparat TNI dan Polri dalam melakukan vaksinasi.
“Waktu itu, kami selenggarakan (vaksinasi inklusif) di SLB. mobilisasi warga banyak digerakkan oleh desa, Babinsa, Babinkamtibmas dan komunitas disabilitas. Dukungan lintas sektor sangat luar biasa. Untuk mereka yang tidak bisa hadir, kami datangi petugas puskesmas dengan pendamping disabilitas,” jelas Dyah.
Manager Program VACCINE dari Migrant CARE, salah satu mitra pelaksana program vaksinasi inklusif kerja sama AIHSP dengan Save the Children, Sinam Sutarno mengatakan, salah satu pembelajaran saat menjangkau kelompok rentan adalah melihat sesuai dengan konteks kebudayaan dan kebutuhan setempat.
“Seperti saat melakukan pendekatan terhadap lansia di Cilacap, lansia yang menjangkau lansia menjadi lebih efektif, begitu juga pada saat salah satu rekan kami melakukan pendekatan ke masyarakat samin di Pati,” ungkap Sinam.
Menurut Sinam, selain pembelajaran, masih terdapat sejumlah tantangan yang belum mendapatkan jawaban pasti dari pengalaman menangani pandemi kemarin. Salah satunya adalah persoalan ketersediaan data yang solid dan akurat, terutama yang mencakup masyarakat berisiko tinggi dan tinggal di wilayah dengan berbagai keterbatasan akses.
“Kita punya masalah serius soal data penyandang disabilitas. Di masyarakat, data tidak tersedia denganmemadai. Kita mengalami kesulitan bagaimana cara menjangkaunya” ujar Sinam.
Amanda Farliany, seorang aktivis tuli yang turut berdialog dalam webinar tersebut mengungkapkan, salah satu kendala yang ditemui di fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas adalah kurangnya fasilitas ramah tuli dan kepekaan tenaga kesehatan.
“Misalnya saat sedang antri, kami dipanggil. kami kan tidak bisa dengar, jadi sebaiknya di ruang tunggu vaksinasi atau puskesmas disediakan layar agar teman-teman tuli tahu kalau mereka dipanggil,” ujar Amanda.
Baca juga: Status Covid-19 Jadi Endemi, Masyarakat Didorong Lengkapi Vaksinasi
Selain Amanda, Staf Media Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi, Ajiwan Arief Hendradi mengungkapkan bahwa komunitas penyandang disabilitas sendiri masih terus mencoba untuk memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), secara khusus untuk para penyandang disabilitas, dengan dukungan AIHSP. Namun, menurut Ajiwan, selain upaya meningkatkan kesadaran, penyandang disabilitas kerap kali menemukan tantanga n dalam mengakses layanan kesehatan.
“Apakah tempat vaksinasi aksesibel untuk difabel? Contoh kendalanya adalah, di daerah-daerah tertentu, belum semua tenaga kesehatan punya kemampuan untuk berinteraksi dengan teman-teman difabel. Mungkin tenaga kesehatan perlu dibekali dengan etika berinteraksi dengan difabel,” jelas Ajiwan.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama, untuk itu koordinasi lintas sektor dan multi pihak yang berkelanjutan perlu terus dilaksanakan demi mewujudkan sinergi pelaksanaan kebijakan dan sumberdaya yang tersedia dalam menghadapi ancaman pandemi dimasa yang akan datang.