Jakarta, Gatra.com – Studi kasus baru yang diterbitkan oleh Trade Barrier Index (TBI) atau Indeks Hambatan Perdagangan bekerja sama dengan Center for Market Education Indonesia (CME ID) menunjukkan bahwa Indonesia perlu memperkuat perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sekaligus menurunkan hambatan perdagangan jika ingin menjadi kekuatan farmasi yang disegani secara global.
Dorongan untuk studi kasus tersebut bermula dari ambisi besar pemerintah Indonesia untuk mengubah industri farmasinya. Pasca pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia telah berulang kali berkomitmen untuk mengubah negara ini menjadi kekuatan farmasi yang tangguh. Tak pelak, potensi Indonesia di sektor farmasi sangat besar. Indonesia memiliki penduduk yang besar dan terus bertambah, tenaga kerja muda dan terdidik, serta letak strategis di Asia Tenggara.
Studi kasus terkait industri farmasi nasional tersebut dikaji oleh Alfian Banjaransari selaku Country Director CME-ID yang menyoroti kendala yang dihadapi industri farmasi nasional. Secara garis besar, studi mengemukakan bahwa Indonesia dapat mengatasi sejumlah tantangan dengan memperkuat perlindungan HAKI dan menurunkan hambatan perdagangan.
Hal tersebut akan memungkinkan perusahaan-perusahaan Indonesia untuk lebih berinvestasi dalam litbang (R&D), mengembangkan rantai pasokan, dan memproduksi obat berkualitas tinggi dan terjangkau. “Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemain utama di industri farmasi global,” ujar Alfian.
Ia memaparkan, studi merekomendasikan pemerintah agar segera memperkuat kerangka perlindungan HAKI yang ramah investasi dengan menindak tegas obat-obatan palsu sekaligus menerapkan reformasi hukum. Secara bersamaan, Indonesia juga dapat mengonsolidasikan perannya dalam value chain farmasi global dengan memangkas tarif dan hambatan non-tarif lainnya, terutama pada bahan baku farmasi yang diimpor.
Di sisi lain, kendala-kendala yang dihadapi industri farmasi nasional perlu ditangani secara struktural. “Tujuannya adalah menyelaraskan industri farmasi Indonesia ke dalam value chain farmasi global. Tidak boleh lagi kita terus melihat ke dalam, apalagi jika kita memang serius ingin menjadi kekuatan global,” katanya.
Menurutnya, Indonesia kerap terjerat oleh “lingkaran setan” yang berulang: investasi penelitian dan pengembangan (litbang) yang tidak memadai yang mengakibatkan ketergantungan berlebihan pada bahan impor. “Akibatnya, Indonesia memiliki kontrol lemah atas rantai pasokan sehingga biaya pun meningkat. Di tengah gencarnya kebutuhan obat murah, hal ini kemudian mendorong maraknya peredaran produk palsu dan berkualitas rendah,” pungkas Alfian.
Studi terkait Industri Farmasi Nasional diluncurkan menindaklanjuti laporan Indeks Hambatan Perdagangan 2023, di mana Indonesia menempati peringkat 86 dari 88 negara. Laporan juga menyoroti tingkat hambatan perdagangan Indonesia yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Menariknya, studi juga diluncurkan tak lama sebelum Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan yang baru disahkan, yang menjadi landasan reformasi sistem kesehatan nasional Indonesia.