Solo, Gatra.com - Adaptif menjadi kunci bagi Aryatie Sekar Asih untuk terus merawat bisnisnya. Terbukti sudah belasan tahun dirinya menekuni bisnis dalam bidang fashion batik, tetap bisa bertahan dan terus berkembang hingga kini.
Hal ini disampaikan Aryatie Sekar Asih, perempuan 56 tahun yang menekuni bisnis fashion batik sejak tahun 2009. Aryatie ditemui Gatra.com saat berada si salah satu outlet miliknya di Lantai Dasar Solo Square, Solo, Senin (30/10). Dia menceritakan kisahnya berwirausaha dan menekuni bisnis busana batik ini.
Aryatie yang sedang menjaga outlet ditemani salah seorang karyawan. Sesekali dirinya melayani pelanggan yang terlihat tertarik dengan baju-baju yang dipajang.
Secara telaten dia memilihkan mana baju yang cocok untuk pelanggan yang datang. Ketelatenan melayani pelanggan ini didapat dari pengalamannya yang sudah membuka berbisnis selama hampir dua dekade.
Sebelum merambah dunia batik, dia sempat berjualan aksesoris sejak tahun 2004. Bisnis itupun berjalan baik selama beberapa tahun. Aryatie bahkan memiliki delapan orang karyawan yang dia percayakan membuat aksesoris hingga menjaga outlet.
”Dulu saya awalnya buka usaha aksesoris di Solo Grand Mall. Mulainya tahun 2004 lalu,” katanya.
Sayangnya bisnis aksesoris ini mulai meredup sekitar tahun 2009. Banyak pesaing menjadi kendala utama bisnis aksesorisnya tidak berjalan mulus. ”Selain itu aksesoris ini kan enggak semua orang butuh. Enggak seperti batik. Selain itu, momentumnya di 2009 itu pas dengan pemerintah yang gencar mengkampanyekan memakai batik,” ujar Aryatie.
Di tahun 2009 lalu, UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dari Indonesia. Di kala itu pemerintah pun gencar-gencarnya mengampanyekan budaya memakai batik. Dari sinilah Aryatie kemudian banting setir dan berganti bisnis dengan berjualan batik.
Semua karyawannya yang saat itu totalnya 8 orang, dialihkan semua untuk menjaga outlet hingga menata display. Dia juga mengambil nama Sekar Asih, namanya sendiri sebagai brand untuk batik yang dijual.
”Jadi itu pencanangan batik di bulan Oktober, saya mulai jualan batik di bulan November. Saat itu masih saya kombinasikan batik dan aksesoris, tapi di Bulan Desember saya sudah ganti jualan batik. Semua batiknya saya ambil dari teman saya, kebetulan dia memproduksi batik sendiri,” kata ibu dua anak tersebut.
Setelah berjalan beberapa waktu di Solo Grand Mall, Sekar Asih merambah ke outlet baru di Solo Square. Ia juga mulai membangun jejaring dengan Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Dinkop UMKM) Kota Solo. Bersama dengan Dinkop UMKM ini, Aryatie mulai diajak untuk pameran ke berbagai macam kota.
”Saya diajak ke Aceh, Jakarta, Bandung, dan beberapa kota lainnya hingga di luar Jawa. Setelah berjalan beberapa waktu, di tahun 2011 saya mulai berani memproduksi dari garmen sendiri. Lalu saya mulai mengambil batik dari para pengrajin di Klewer dan mencari penjahit sendiri,” katanya.
Aryatie yang saat itu tidak memiliki pengalaman sebagai designer, hanya bermodalkan sering melihat-lihat baju saat di pameran di kota-kota lain. Jakarta dan Bandung menjadi rujukan fashion yang biasanya memberikan referensi model baju.
”Biasanya fashion di Jakarta dan Bandung kan bagus-bagus. Saya tiru modelnya, tapi saya buat dan aplikasikan dalam kain batik. Saya juga melihat-lihat selera di pasaran seperti apa, kadang saya juga melihat model di sosial media,” katanya.
Berbekal keterampilan inilah dirinya mulai mengembangkan usahanya semakin lebar. Bahkan Sekar Asih bisa membuka outlet di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, seperti di Gandaria City, Citraland Bogor hingga ke Trans Studio Bandung. Dia menempatkan satu orang lokal yang dia percayai menjaga outlet-nya.
”Selain itu saya memutuskan untuk membuka outlet di Jakarta dan Bandung karena saat itu di Solo kondisinya sedang agak turun. Makanya saya beralih ke luar kota, selama 28 bulan saya muter-muter di beberapa mall di Jakarta dan Bandung,” kata perempuan kelahiran 3 Februari 1968 tersebut.
Selain kondisi bisnis makin meredup, tak lama setelahnya datang pandemi Covid-19, di mana semua kota menutup mall dan pusat perbelanjaan. Akhirnya saat itu Aryatie yang sedang membuka outlet di Trans Studio Bandung terpaksa membawa pulang barangnya ke Solo.
”Kebetulan saat itu di Solo Paragon dan The Park masih buka. Saya putuskan buka di Solo. Saat itu Bandung tutup hingga 9 bulan, setelah buka kembali saya dikontak lagi dari manajemennya, saya diminta buka lagi. Di bulan pertama dan kedua antusiasnya sangat bagus, tapi bulan ketiga enggak ada yang beli, akhirnya saya putuskan tutup dan tetap di Solo,” katanya.
Selama masa pandemi, Aryatie kebanyakan melayani penjualan online. Ia memanfaatkan jejaring para penjual yang dulunya sama-sama aktif dalam pameran untuk tetap bisa berjualan. Dari jejaring inilah ia tetap bisa berproduksi dan menghidupi karyawannya.
”Jadi saat pameran di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain kan saya punya banyak tetangga. Kami punya grup yang akhirnya saling bekerja sama jualan dari sana. Jadi saat itu adaptasinya dari sana,” katanya.
Selain itu, Sekar Asih yang menjadi binaan dari Dinkop UMKM yang kemudian dikenalkan untuk menjadi binaan Pertamina. Saat itu dirinya tertarik ikut binaan Pertamina karena bisa membuat Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), di mana selama ini dirinya sangat sulit memproses.
”Saya juga sering diajak pameran ke mana-mana. Memang enggak tentu waktunya, tapi pasti tiap tahun diajak,” katanya.
Dia merasa sangat terbantu karena di saat pandemi, kondisi keuangan sangat sulit. Dengan mendapat pinjaman dari Pertamina ia bisa lebih mengembangkan usaha sedang lesu.
”Kalau diajak pameran enak, soalnya dapat stand yang ukurannya besar dan bagus. Jadi pasti enak,” katanya.
Walhasil saat ini perkembangan usahanya menunjukkan ke arah yang lebih baik. Dalam sepekan, Sekar Asih bisa memproduksi hingga 200 potong. Jumlah ini sudah naik dua kali lipat di masa pandemi lalu.
”Meskipun masih jauh kalau dibanding sepuluh tahun lalu. Dulu dalam sepekan saja 500 potong sangat cepat habisnya. Sekarang paling 200-300 potong saja,” katanya.
Dengan kondisi saat ini, Aryatie hanya ingin bisnisnya berkembang dan berjalan lebih baik lagi. Bermodalkan adaptasi di tiap kondisi menjadikan usahanya tetap berjalan meski sudah belasan tahun digeluti. Dirinya juga berharap karyawan yang ada di bawah naungannya bisa tetap bekerja dengan baik.
”Sekarang ada tujuh penjahit dan dua orang yang menjaga outlet. Selain itu di tiap-tiap kota seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, ada yang saya percayai menjaga outlet,” tandasnya.