Semarang, Gatra.com - Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Provinsi Jawa Tengah menyebutkan kasus setiap 100 pasangan suami istri yang menikah, maka terdapat 37 pasang yang bercerai.
“Ini artinya, pernikahan di Jawa Tengah yang gagal mencapai 37 persen,” kata Ketua BP4 Provinsi Jawa Tengah, Prof. Dr KH Nur Khoirin YD dalam rilis, Senin (6/11).
Padahal pasangan yang tidak bercerai secara sah, lanjut Nur Khoirin belum tentu perkawinannya baik-baik saja, karena berpotensi cerai. Sehingga angka perkawinan yang gagal bisa mencapai 50%.
“Idealnya kasus perceraian tidak mencapai 5 persen. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena kekuatan dan masa depan suatu bangsa sangat dipengaruhi kehidupan keluarga,” ujarnya.
Nur Khoirin menyatakan salah satu penyebab tingginya perceraian adalah pernikahan anak di bawah umur di Jawa Tengah (Jateng) yang terus meningkat.
Sebagaian besar yang mengajukan adalah orang tua dari calon pengantin perempuan yang umurnya belum mencapai 19 tahun.
Meningkatnya kasus nikah di bawah umur merupakan dampak langsung dari UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menaikkan batas usia menikah dari 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun.
''Batasan usia menikah bagi perempuan berusia 16 tahun saja banyak yang mengalami kegagalan, apalagi dinaikkan menjadi 19 tahun, pasti akan membawa dampak hamil duluan sebelum menikah,'' ujarnya.
Nur Khoirin menambahkan untuk menekan kasus perceraian BP4 Jateng membuat program rumah konsultasi keluarga (Rumsiga).
Rumsiga memberikan layanan konsultasi dan mediasi kepada pasangan suami istri, baik yang akan menikah maupun yang sedang dilanda konflik keluarga.
''Rumsiga harus dikelola secara baik, profesional, dan berkelanjutan oleh tenaga yang terdidik dan terlatih. Kami akan melaksanakan pelatihan konsultasi keluarga secara bertahap, yang pesertanya berasal dari delegasi KUA-KUA se-Jawa Tengah,” ujarnya.