Home Politik Perludem: Bahaya Pemilu Sudah Ada Sebelum MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Cawapres

Perludem: Bahaya Pemilu Sudah Ada Sebelum MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Cawapres

Jakarta, Gatra.com - Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, peringatan bahwa ada bahaya yang mengancam proses Pemilihan Umum (Pemilu) sudah ada sebelum Mahkamah Konstitusi memutuskan gugatan nomor 90, terkait batas minimal usia capres-cawapres.

Titi menjelaskan, jika dilihat dari perspektif demokrasi elektoral atau pemilu, ada beberapa pertanda yang dinilainya sangat menggelisahkan.

"Satu, ketika pembatalan secara elitis pembahasan RUU Pemilu oleh pemerintah, DPR, dan DPD dikeluarkan dari prioritas legislasi (pada tahun) 2021," ucap Titi Anggraini dalam Diskusi Publik “Qua Vadis Demokrasi dan Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” yang disiarkan daring melalui Youtube Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada Jumat (10/11).

Titi menjelaskan, keputusan untuk tidak melanjutkan pembahasan terhadap perubahan UU Pemilu dilakukan secara sepihak oleh para elit politik.

"Tidak ada akuntabilitasnya kepada publik. Sementara, ada kebutuhan sangat banyak bagi kita untuk mewadahi evaluasi Pemilu 2019 dalam pelembagaan aturan yaitu UU Pemilu," kata Titi.

Titi menjelaskan, kebuntuan yang dihadapi saat itu membuat masyarakat berbondong-bondong mengajukan permohonan melalui lembaga yudisial demi mendapatkan solusi terkait pengaturan Pemilu.

Selain itu, masalah lain yang mengancam keberlangsungan Pemilu adalah adanya politisasi dalam proses rekrutmen penyelenggara Pemilu. Politisasi ini terlihat dari kuatnya pengaruh relasi partisan untuk memastikan seseorang terpilih menjadi anggota tim penyelenggara pemilu.

"Padahal, kalau penyelenggara pemilunya partisan, itu bahaya betul terkait kemurnian suara pemilih kita," katanya.

Titi menilai, kondisi saat ini menunjukkan pudarnya komitmen keterwakilan perempuan untuk mengisi keanggotaan lembaga penyelenggara Pemilu di daerah, KPU, dan Bawaslu.

"Bahkan, ada fenomena. Ketika mereka harus memilih 5 (anggota) dari 10 (pendaftar), di antara 10 itu hanya ada 1 perempuan yang jadi calon, 1 perempuan itu pun tidak dipilih," jelas Titi.

Ketiadaan relasi partisan sebagai faktor pendukung menjadi salah satu alasan perempuan tidak dipilih menjadi anggota penyelenggara Pemilu.

"Lebih bahaya lagi. Pelemahan atau terjadinya korupsi afirmasi keterwakilan perempuan dilakukan institusi KPU," ucap Titi.

Ia menjelaskan, pelemahan ini dilakukan KPU melalui peraturan yang mereka buat sendiri untuk pencalonan DPR dan DPRD. Namun, peraturan ini justru bertentangan dengan UU dan putusan Mahkamah Agung.

Sebagai contoh, pada tahun 2014, keterwakilan perempuan di suatu dapil diwajibkan berjumlah minimal 30 persen dari total. Titi menjelaskan, KPU justru membuat suatu formula untuk mengurangi angka wajib tersebut. Dalih yang digunakan saat itu adalah formula matematika, pembulatan ke bawah.

"Akhirnya, yang terjadi apa? Sebagai contoh, pada Pemilu DPR ada 266 daftar caleg DPR yang keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen," jelas Titi.

Ia pun menyayangkan perbuatan KPU mengingat gerakan perempuan di dunia politik merupakan salah satu buah dari perjuangan masa reformasi. Titi menilai, hal ini menjadi tantangan besar dalam perjuangan reformasi mengingat KPU sendiri adalah produk dari reformasi.

"KPU yang harusnya menjadi penjaga demokrasi tapi malah melemahkan perjuangan demokrasi, dalam hal ini gerakan perempuan politik melalui peraturan yang mereka buat," kata Titi lagi.

125