Jakarta, Gatra.com - Museum MACAN menggelar pameran kolektif Voice Against Reason. Pameran ini dimulai dari gagasan bahwa perupa membantu kita dalam menyuarakan dan memberikan bentuk pada isu-isu dan ide-ide yang terkadang bergolak di bawah permukaan atau berlawanan arus. Salah satu seniman yang berpartisipasi adalah Amin Taasha.
Amin Taasha (Afghanistan, 1995) berasal dari komunitas Hazara, etnis minoritas berbahasa Persia di Afghanistan. Saat ini, ia berbasis di Yogyakarta, Indonesia. Pada tahun 2000, Amin dan keluarganya terpaksa harus melarikan diri dari Bamiyan ke Kabul, karena perang dan konflik yang terjadi di Afghanistan.
Karya-karya Taasha terinspirasi dari puisi dan sastra Persia, termasuk dari penyair Shirazi, Hafez (Persia, sekitar 1325-1390), serta lukisan miniatur klasik. Ia menggabungkan simbol dan motif mereka untuk menyampaikan kedalaman dan kompleksitas cinta serta spiritualitas manusia.
Baca Juga: Museum MACAN akan Gelar Pameran “Voice Against Reason” dengan 24 Perupa Asia-Pasifik
Pada tahun 2013, Amin tiba di Indonesia sebagai mahasiswa internasional dengan beasiswa untuk belajar di Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang, sebelum akhirnya menetap di Yogyakarta untuk menempuh pendidikan seni di Institut Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta.
Karya-karya Amin telah dipamerkan dalam sejumlah pameran penting, termasuk 'Art Amongst War, Visual Culture in Afghanistan 1979–2014' di TCNJ Art Gallery, New Jersey, Amerika Serikat; The 4th Dhaka Art Summit di Bangladesh Shilpakala Academy, Bangladesh; dan The 10th Asia Pacific Triennial of Contemporary Art di Queensland Art Gallery | Gallery of Modern Art, Brisbane, Australia (2021). Pada tahun 2022, ia menerima Penghargaan Kehormatan dalam The International Art Contest on Recognizing Minority Artists Working on Stateless Themes, yang diselenggarakan oleh UNHCR di Jenewa, Swiss.
Kepada wartawan Gatra Hidayat Adhiningrat P. dan Flora Libra Yanti, Amin bercerita banyak hal mulai dari seri karya The Heart of Sadness yang dipamerkan di Museum MACAN hingga keputusannya tinggal di Indonesia. Berikut petikannya:
Coba ceritakan seri karya ini, apa wacana yang ingin disampaikan lewat The Heart of Sadness?
Di karya ini sebenarnya saya berusaha untuk memvisualisasikan apapun yang saya alami lewat pikiran atau keadaan di sekitar. Saat saya memikirkan masa depan dan bagaimana ingatan masa lalu, itu semua muncul. Jadi disini kita bisa lihat semacam budaya.
Budaya itu bisa merepresentasikan diri saya sendiri, bapak, mama, atau siapapun. Mereka yang terus menerus berjuang. Seberat apapun keadaannya, ketika kita sudah mulai menyadari dan menerimanya, jalan apapun itu akan terbuka. Tapi ketika hanya mencari cari alasan dan pembenaran, hidup akan jadi susah.
Di seri karya ini selalu ada figur kuda dan bunga marigold, ada alasan khusus?
Kuda di dalam literasi dan puisi persia itu sosok yang sangat penting. Selalu ada cerita tentang itu. Kuda jadi simbol perubahan dan konsistensi. Jika kita lihat dalam sejarah, kuda adalah salah satu hewan yang tanpa ekspektasi membantu manusia sampai saat ini. Dia selalu ada ya kan? Selalu ada dan membantu kehidupan manusia selama ini. Dan sekarang jadi something luxurious.
Kalau marigold?
Sebenarnya, cerita marigold agak lucu. Karena pas kemarin ada corona dan kita lihat di sekitar kita, semua orang agak kaget dengan suasana yang asing itu. Dan Khadim Ali (salah satu seniman yang ikut berpameran di Museum MACAN juga) dengan saya selalu berbicara tentang dunia. Dia bilang coba lihat lebih dekat, jangan berpikir terlalu banyak tentang apa yang terjadi di Afghanistan, coba lihat di sekitarmu.
Saya mulai lihat-lihat di sekitar. Di depan rumah, saya menanam banyak bunga ini, tanpa sadar. Tapi pas saya lihat warnanya seperti melihat harapan untuk memulai hidup yang baru. Bunga ini digunakan dalam beberapa hal yang berbeda maknanya. Untuk mengenang kematian dan juga merayakan kelahiran hingga pernikahan. Semacam dualisme antara kebahagiaan dan kesedihan.
Di sini kamu ingin menceritakan tentang dualisme makna itu?
Lebih seperti funny. Seperti saya sendiri yang memikirkan susahnya hidup, kenapa kita harus menyikapinya terlalu serius? Momen itu nantinya juga akan lewat. Makna ini diperlihatkan dari pose kuda yang inspirasinya dari gerakan kucing di lukisan-lukisan ini, misalnya. Dan misal di sini ada kaktus yang bisa dimaknai seperti kekerasan atau kesulitan dalam hidup yang kita selalu hadapi.
Tapi kesusahan itu tidak boleh menghambat kita untuk menuju ke masa depan yang lebih baik. Jadi, bagaimana kita terus-menerus berjuang, apapun kesulitan yang datang kita harus punya harapan agar hidup kemudian semakin baik.
Pada bagian pinggir setiap lukisan ada tulisan dalam huruf Arab, apa itu?
Ah, poetry, itu. Ini bahasa Persia ya. Semacam refleksi.
Ini puisi Hafez?
Ada dari Hafez, ada dari versi puisi lain. Tapi yang banyak yang menolong itu Hafez. Karena salah satu buku yang bapak saya sudah pegang dari mungkin 70 tahun lalu adalah puisinya Hafez. Saya dapatkan itu dari bapak yang juga berharap anak-anaknya belajar dari buku ini. Nah, dari sebelas bersaudara hanya saya yang bisa baca dan akhirnya pas saya kesini saya bawa. Oke, saya pelajari.
Apa yang kamu suka dari puisi-puisi Hafez?
Puisi Hafez itu setiap kali dibaca dalam keadaan dan waktu yang berbeda seperti dia sedang ngomong tentang suasana perasaan kamu saat itu. Misal sekarang saya baca satu puisinya, dia seperti sedang membicarakan suasana kebatinan saya. Itu yang saya suka.
Di lukisan ini ada figur semar juga?
Semar kan begitu dia, enggak terlalu serius tapi ajarannya sangat bermakna. Falsafah yang didapat begitu saya sampai ke Indonesia salah satunya adalah tentang Semar. Budaya Jawa, budaya Indonesia bagusnya itu bisa alami ratusan karakter. Ada banyak budaya, bahasa, karakter orang. Itu seperti open university. As long as you work, you can learn.
Falsafat-falsafat kehidupan baru di Indonesia saya rasa sangat berpengaruh dalam hidup saya. Jadi sebelum itu saya banyak mikir, tidak bisa terima dan selalu bertanya kenapa kejadian-kejadian buruk terjadi di hidup saya. Seperti perang, kenapa ada banyak kebencian di sekitar saya. Tapi lama-lama baru sadar kalau memang itu adalah keadaan alami yang bisa terjadi pada setiap manusia. Terima saja, ikhlas.
Ada simbol-simbol yang mengesankan politik juga, termasuk masalah politik Indonesia. You even pay attention to Indonesian politics?
Ya itu penting ya. Sudah 10 tahun tinggal disini kan. Kemudian sejak saya di Afghanistan, saya pas umur 7 tahun, sudah selalu ikut mengikuti isu-isu politik. Tidak ikut lah, denger ceritanya. Dan kita dimana-mana kita kumpul anak-anak bahas politik.
Oh keadaannya begitu ya? 7 tahun sudah bahas politik?
Ya di Afghanistan itu anak-anak pas masih kecil sudah muda. Pas sudah muda mereka sudah tua. Hahaha..
Cepat menjadi dewasa ya?
Saya sendiri, saya tidak pernah alami masa kecil saya. Pas saya mulai bisa jalan, saya mau bantu Bapak saya. Misal Bapak saya dapat kontrak untuk mengambil air di pos militer, kita harus bawa airnya, air minumnya ke gunung.
Kamu tumbuh di Kabul?
Bamiyan. Bamiyan kota yang jadi pusat jalan sutra pada zamannya abad 1-7. Dan disitu ada 2 patung Buddha paling besar di dunia. Unfortunately di-bom tahun 2001. Satu 57 meter, lalu ada yang 37 meter.
I thought Afghanistan all Muslim?
Now it's all Muslim, but before was Buddhist.
Kenapa pindah dari Bamiyan ke Kabul?
Itu tahun 2000-an. Karena masalah politik. Kita berpikir lebih baik tinggal di ibu kota. Karena di ibu kota lebih aman, ada banyak media. Di kampung-kampung itu orang-orang tidak ada yang bisa kontrol. Ada kekerasan atau bagaimanapun tidak banyak yang tahu.
Itu kan ya, pesawat-pesawat Amerika yang selalu awasi. Setelah tahun 2000, Taliban sudah turun. Jadi mereka itu menyebar banyak bom. Bapak saya bisa diffuse bom, kita pergi cari, kita ambil besinya lalu jual di pasar.
Keadaan perang seperti itu, sejauh mana mempengaruhi karya-karya kamu?
Itu mau enggak mau jadi bagian dari bawah sadar. Karena perang itu membentuk dunia. Meskipun tidak ada perang, ada orang yang membuatnya. Hanya untuk kebutuhan mereka.
Pada saat pameran 'Art Amongst War, Visual Culture in Afghanistan 1979–2014' di TCNJ Art Gallery, New Jersey, Amerika Serikat itu lukisan seperti ini yang ditampilkan?
Pada waktu itu karyanya lebih dark. Jadi sebelum saya punya istri memang saya selalu lihat hidup itu terlalu gelap. Tapi pas sudah nikah, khususnya pas punya anak, pengaruhnya jadi enggak terlalu gelap lagi melihat dunia. Sebelumnya saya hidup cuma mau untuk diri sendiri tapi pas punya anak saya tidak boleh untuk sendiri saja.
Berarti ada perbedaan karakter karya ya?
Lebih optimis dan berwarna warni. Betul.
Tapi aku penasaran, kalau di Afghanistan ada seniman-seniman seni rupa juga?
Di Afghanistan sendiri enggak ada yang muncul. Tapi di dalam 20 tahun yang sebelum jatuh kemarin, itu mulai muncul.
Karena pengaruh Taliban berkuasa itu para seniman tidak bisa...
Para seniman, para pemikir, para profesor yang belajar di kampus pergi ke tempat yang baru. They are not who they are. They are just a person who seeking safety. Itu sedih.
Di Afghanistan berprofesi sebagai seniman itu sulit ya? Apalagi ada beberapa ajaran yang seperti melarang ekspresi seni karena keyakinan agama.
Iya. Itu mempengaruhi banget ya. Tapi boleh kayak bikin kaligrafi. Ini yang dalam 20 tahun terakhir mulai muncul sedikit. Tapi sayangnya semua keluar dari Afghanistan
Paling banyak ke mana?
Mereka itu menyebar, ada di Amerika Latina, di Australia, di Eropa, di Asia. Dan beberapa hanya untuk alasan keamanan, tidak lakukan seni lagi. Mereka menjadi pembersih, menghiasi hidangan, seperti itu. Saya beruntung dapat beasiswa untuk belajar di Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang.
Itu program apa?
Dharma Siswa itu satu program untuk seluruh dunia dari Indonesia, mereka memperkenalkan budaya Indonesia. Bahasa Indonesia, bahasa Jawa, gamelan, batik. Saya sendiri pas di UNNES coba berbagai macam, gamelan, tari, bahasa Jawa, bahasa Sanskrit.
Lalu kamu memutuskan untuk meneruskan studi di Yogyakarta?
Ya, habis itu saya mau bersiap pulang, tapi untungnya ada dari pemerintah kerjasama Afghanistan sama Indonesia ada beasiswa 4 tahun jadi pas apply diterima.
Bagaimana kamu melihat ekosistem seni rupa di Indonesia?
Di Jogja bagusnya itu ada banyak orang yang mau belajar dan semua itu berkembang. Saya bisa bertemu dan belajar dari Heri Dono, Nasirun, dan lain-lain. Saya belajar banyak dan mereka terbuka untuk itu. Ada banyak mentor saya di Indonesia.
Kamu sekolah di sini, para mentor di sini, keluarga di sini. Apakah akan seterusnya tinggal di Indonesia?
Sekarang ya, karena anak sama istri juga di sini. Saya tidak berpikir kemana-mana. Bagaimana nanti ke depannya akan seperti apa ya where the wind takes lah ya. Jika wind tidak gerak ya sudah, di sini saja.