Lahat, Gatra.com - Sumhayana (48), warga Desa Muara Maung, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumsel, kini hanya bisa membayangkan nikmatnya menghirup udara bersih, dan mandi di sungai yang jernih saat masa kecilnya.
Tanah desa tempat ia dilahirkan, tersebut begitu subur dan menjadi salah satu daerah penghasil sayur yang cukup besar. Tak kenal musim, setiap hari hawa dingin dan bersih khas pedesaan membuat nyaman kehidupan warga yang notabene petani.
Namun semua berubah begitu cepat, tatkala izin pembukaan tambang batubara (2007) masuk di Desa Muara Maung. Sumhayana dan anak-anaknya harus berkutat dengan debu batubara yang memicu polusi udara. Batuk dan gangguan pernafasan yang semula membuat cemas, kini dianggap biasa oleh warga setempat.
“Paling terdampak itu anak-anak dan lansia. Batuk terus menerus hingga dianggap mereka sudah kebal hirup debu. Karena mau bagaimana lagi, beberapa kali kita protes tetap tidak ada solusi,” tuturnya, saat dibincangi beberapa waktu lalu.
Tak hanya gangguan pernafasan dan batuk, gangguan kesehatan lain seperti gatal-gatal dan ruam, juga sering dialami warga akibat pencemaran air sungai Kungkilan. Pascamasuknya tambang, air sungai yang dulunya jernih dan terlihat dasar sungai kini ibarat kopi susu. Warna air keruh kecokelatan dan membuat gata-gatal jika ada yang nekat menggunakannya untuk mandi.
“Dulu sebelum masuk tambang (batubara), warga memanfaatkan air sungai untuk dikonsumsi dan kebutuhan lain. Benar-benar bergantung pada air sungai. Namun sekarang jangankan untuk diminum, kebutuhan domestik saja tak bisa karena air keruh berlumpur,” jelas Sumhayana.
Puncaknya, saat tahun 2019 awal mula terjadi banjir besar akibat rusaknya sungai Kungkilan. Banjir tersebut berulang setiap tahun dan setiap musim hujan. Bahkan terparah, tahun 2022 pernah dalam 1x24 jam terjadi dua kali luapan air bercampur limbah batubara.
Kadus III desa Muara Maung, Rusdi mengaku, banjir tersebut mengandung endapan tawas dan kapur yang memicu penyakit baru selain gatal-gatal. Saat musim banjir, anak-anak juga rentan terkena diare karena air kotor bercampur limbah tambang.
Dengan terpaksa warga pun benar-benar meninggalkan air Sungai Kungkilan, untuk kebutuhan sehari-hari sejak tahun 2014. Dimana saat itu penyakit kulit yang ditimbulkan dari air sungai banyak diderita oleh warga.
“Semacam korengan, jadi ruam itu muncul di sela jari dan gatal. Itulah alasannya kemarin warga Dusun 1 meninggalkan air sungai diikuti beberapa dusun lainnya,” terangnya.
Jika air sungai tak dapat diharapkan lagi, warga pun berinisiatif membangun sumur untuk sumber air bersih. Nyatanya, sumur yang digali tidak dapat lebih dari kedalaman 5 meter karena rentan amblas.
“Sebelum banyak aktivitas tambang, dulu kalau menggali sumur dengan kedalaman 8-9 meter masih bisa. Airnya juga stabil, dan 1 sumur bisa mengcover 6 rumah. Namun sekarang 1 rumah hanya 1 sumur karena amblas tadi,” ungkapnya.
Sayangnya, air tanah yang diharapkan mampu mengatasi krisis air bersih itupun memiliki kendala. Air sumur hanya bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan tak layak dikonsumsi. Sebab jika dimasak, air kekuningan dan berasa karat dikhawatirkan memicu gangguan kesehatan.
“Jadi untuk kebutuhan makan dan minum, warga membeli air galon dari luar kampung. Setiap rumah kebutuhannya berbeda, namun rata-rata membeli air galon. Bahkan ada warga yang menjual air matang (yang sudah mendidih) yang sbelumnya dari air galon,” bebernya.
Rani (21) warga setempat mengaku menjadi ‘pasien langganan’ dari dampak debu batubara dan pencemaran sungai. Ia menyebutkan jika kelompok rentan seperti wanita, anak-anak dan lansia paling terdampak semenjak aktivitas tambang mengepung desa mereka.
“Paling sering itu batuk dan sesak nafas, kebanyakan lansia maupun anak-anak. Selain itu ada juga yang terjangkit gatal-gatal dengan tekstur ruam bentol berair ditambah kemerahan. Saya 3 kali berobat ke bidan desa, dan semuanya menyebutkan jika gatal ini akibat debu batubara,” ucapnya.
Belum lagi persoalan debu berwarna hitam di lantai rumah, debu-debu dengan partikel halus pun menempel di setiap perabot rumah tangga, seperti rak piring dan peralatan elektronik sehingga harus selalu diberi penutup khusus dari kain atau plastik.
“Baru nyapu sebentar, sudah kotor lagi. Telapak kaki selalu menghitam. Pernah juga saat hujan kami tadah airnya ke ember, dan ternyata air hujan pun kotor sekali karena terlihat jelas dari endapan di ember jika hujan sudah bercampur debu,” ungkapnya.
Diketahui populasi penduduk Desa Muara Maung, mencapai 415 kepala keluarga dan mayoritas selama ini mengandalkan hidup dari bercocok tanam dengan Sungai Kungkilan, sebagai sumber air utama. Seiring dengan menghilangnya lahan untuk berkebun, warga desa Muara Maung kini banyak bekerja di tambang terutama di bagian buruh non skill yang sampai sekarang kontrak kerjanya tak kunjung jelas.
Untuk tambang batu bara yang berada di kawasan Merapai Barat sendiri, mayoritas milik perusahaan swasta, seperti PT Golden Great Borneo, PT Bara Alam Utama, dan PT Muara Alam Sejahtera (MAS). Sedangkan PLTU yang beroperasi di wilayah Merapi adalah PLTU Keban Agung 2x135 MW dan Banjar Sari 2x110 MW.
Beberapa warga setempat menyebutkan jika sungai Kungkilan rusak akibat aktivitas tambang dari PT MAS. Maka itu pada tahun 2019 dibuatlah kesepakatan musyawarah desa dengan pihak PT MAS dimana masyarakat menerima kompensasi pengganti kerusakan infrastruktur yang terletak di sungai Kungkilan sebesar Rp282.000.000.
“Uang tersebut diserahkan kepada Forum SALIM sebagai pengelola sebesar 15 persen dari jumlah KK yang terdampak. Ada sekitar 600 KK yang menerima kompensasi. Namun itu hanya kompensasi kerusakan sungai, kalau polusi udara tidak ada sama sekali,” ucap Syahwan, salah satu warga.
Sayangya, saat media ini mencoba melakukan konfirmasi ke pihak PT MAS dengan mendatangi kantor operasional langsung, pihak berwenang untuk diwawancarai sedang tidak berada di tempat.
“Silahkan ditelpon dulu,” ujar security singkat. Lagi-lagi usaha untuk mengubungi pihak PT MAS gagal, karena Kabag Humas PT MAS, Rendhi tidak bersedia diwawancarai terkait persoalan tambang dan sungai Kungkilan.
Kawasan Merapi Dikepung Tambang
Desa Muara Maung hanyalah 1 dari banyaknya desa lain yang mengalami nasib serupa akibat masukknya tambang batubara. Diketahui, kawasan Merapi terdiri dari tiga kecamatan yaitu Merapi Barat, Merapi Selatan, dan Merapi Timur merupakan salah satu sentra tambang batu bara dan PLTU di Sumsel.
Maka itu, sebagai wilayah yang dikepung aktivitas tambang batubara, kabupaten Lahat terutama di kawasan Merapi rentan terpapar polusi udara. Hal ini diungkapkan Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Lahat, Aiwa Marlina SKM MM.
Aiwa Marlina mengakui, adanya pencemaran udara picu munculnya penyakit, salah satunya ISPA. Namun untuk di Lahat sendiri, peningkatan kasus ISPA terbilang tidak terlalu tinggi.
"Pencemaran udara pasti akan berdampak pada pernapasan. Jika ditanya apakah debu batubara dan kebakaran lahat jadi penyebab ISPA, bisa saja iya karena penyebaran ISPA ini juga melalui udara," ungkapnya.
Dari data yang didapat, kasus ISPA pada minggu pertama September 2023 untuk seluruh kabupaten Lahat terdapat 472 kasus. Kemudian menurun pada Oktober dimana dari laporan 33 puskesmas di Kabupaten Lahat, ada 126 kasus ISPA yang menyerang usia di atas 5 tahun, 31 kasus usia 1-5 tahun, dan lima kasus usia 0 tahun.
“Penderita tertinggi berada di Kecamatan Merapi Area, yakni di Puskesmas Merapi I ada 10 kasus, dan Puskesmas Muara Lawai ada 14 kasus,” terangnya.
Sementara itu, kondisi debu yang kian banyak ini, rupanya sejak awal sudah dipantau oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lahat. DLH Lahat beberapa waktu lalu sudah lakukan upaya pemantauan kualitas udara. Namun karena alat yang digunakan masih minim, hasil dari pemantauan masih menunggu hasil laboratorium.
Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Rosivel T Herwin mengatakan, jika tahun ini hasil penilaian indeks kualitas udara belum keluar. Di tahun 2022 lalu di angka 86.80, KLHK menyebut kualitas udara masih dalam kategori baik.
“Untuk pemantauan kualitas udara, kita menggunakan passive sampler udara ambien. Metode pengambilan data selama 14 hari, dengan alat penangkap debu setinggi dua meter. Lokasi pemasangan alatnya di kantor Camat Merapi Timur, perumahan di Desa Tanjung Jambu, pos galian C Desa Muara Lawai dan di PLTU Banjarsari," jelas Khairul.
Terkait apakah kualitas udara di Kecamatan Merapi Area saat ini dalam kondisi bagus atau tidak, menurutnya harus berdasarkan kajian. Pihaknya tidak bisa asal menyatakan, jika memburuknya kualitas udara semata karena debu batubara.
"Untuk saat ini kita mencari data dahulu, agar bisa ambil kebijakan. Nantinya tiap daerah terwakili data, terkait kualitas udara. Benar, PLTU dan batubara itu timbulkan polisi udara, karena itu saat ini kita fokus ke pengumpulan data," jelas Khairul.
Pentingnya Jalur Khusus Tambang Batubara
Riset dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyebutkan, batubara Sumsel tersebar di beberapa kabupaten seperti Muaraenim, Lahat, Panukal Abab Lematang Ilir (PALI) dan Musi Banyuasin.
Sementara total wilayah pertambangan seluas 145.213 hektar (Geoportal ESDM, 2020) yang mana wilayah pertambangan tersebut dimiliki oleh perusahaan, baik pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun IUP.
Mayoritas cadangan batubara di Sumsel berada di area terpencil dan terisolasi sehingga membutuhkan infrstruktur transportasi darat cukup panjang untuk mencapai pelabuhan agar dapat dijual baik untuk pasar domestik maupun internasional. Cara transportasi batubara dilakukan tentunya akan bergantung pada kondisi geografi dan jarak.
Pada jarak dekat, batubara umumnya ditransportasikan menggunakan coveyor belts atau truk. Sedangkan untuk jarak jauh ditransportasikan dengan kereta api atau kapal tongkang jika berada dekat dengan wilayah perairan.
Permasalahannya adalah, banyak kasus ISPA menyerang warga di sekitar tambang batubara, terutama mereka yang tinggal dekat jalur angkutan batubara. Koordinator perkumpulan Sumsel Bersih, Bonifasius Ferdinandus mengungkapkan, pemerintah harus membangun jalur khusus angkutan tambang batubara sehingga tidak menimbulkan polusi bagi masyarakat di sekitar jalan yang dilalui angkutan batubara.
“Hanya tiga desa (di kawasan Merapi) yang dapat kompensasi dampak debu batubara dari perusahaan, padahal banyak desa yang dilewati angkutan batubara,” katanya.
Kasus yang sama ditemukan pada masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU. Apalagi sekarang faba dari limbah PLTU sekarang tidak lagi masuk dalam B3, sehingga pengawasan dan penangannya kini tidak seketat sebelumnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan memperparah dampak dari PLTU pada masyarakat.
“Meski dekat PLTU, tetapi listrik di desa tetap tidak stabil. Justru dampak buruk yang dirasakan masyarakat,” katanya.