Jakarta, Gatra.com - Rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok membawa pengaruh bagi Indonesia. Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Emilia Yustiningrum mengatakan bahwa esensi rivalitas kedua negara itu dominan di bidang ekonomi dan pertahanan.
"Pemahaman itu cukup berimbang di kalangan elite pemerintahan. Pun di kalangan akademisi, pemahamannya cukup berimbang," ujarnya dalam pembacaan hasil survei bertajuk "Persepsi Elite Indonesia Mengenai Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Indo-Pasifik" yang digelar secara hybrid, Kamis (7/12)
Ia menyatakan bahwa elite pemerintah juga sepakat bahwa rivalitas kedua negara sangat berpengaruh di Indonesia, salah satunya di bidang politik. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana pemerintahan Joko Widodo sejak periode pertama langsung mengadakan kunjungan ke Tiongkok, maupun Amerika Serikat.
Pengaruh kedua negara tersebut di bidang pertahanan dan keamanan juga disetujui baik kalangan pemerintah maupun akademisi. Pun di bidang ekonomi, kebanyakan responden sepakat bahwa hal ini juga dipengaruhi oleh rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok. Elite pemerintah dan akademisi sepakat bahwa Indonesia lebih banyak dipengaruhi Tiongkok dalam hal ekonomi. Namun, ia menyebut bahwa pada dasarnya, kunjungan Jokowi ke Amerika Serikat juga banyak membahas diplomasi ekonomi.
"Pengaruh Tiongkok bisa terlihat dari kesepakatan mengenai kereta cepat Jakarta-Bandung, energi di Kalimantan Utara, pertambangan di Sulawesi Tenggara, serta pariwisata di Bali. Itu punya pengaruh signifikan," katanya.
Adanya rivalitas kedua negara besar itu turut membawa keuntungan bagi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa situasi ini membuat Indonesia memiliki leverage atau penawaran lebih saat menjalin dan merespons hubungan kerja sama di bidang apapun.
Meskipun begitu, potensi ancaman dari adanya rivalitas kedua negara juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Indonesia berpeluang membangun kerja sama dengan kedua negara, namun tetap perlu hati-hati dalam mengimplementasikannya.
"Dengan Amerika Serikat ada potensi kerja sama tapi harus pilih-pilih. Kerja sama dengan Tiongkok dari sisi menguntungkan, tapi perlu ada hal yang diperhatikan lebih dalam misalnya pembayaran. Apa-apa saja yang perlu diwaspadai, karena ke depan bisa jadi ada masalah kalau tidak dicermati," pungkasnya.
Survei ini dilakukan pada periode September 2022 hingga Juni 2023 dengan jumlah responden sebesar 76 orang. Dari seluruh responden, terdapat 58% kalangan akademisi, dan 42% dari pemerintahan yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling yang menangani isu Indo-Pasifik di bidang politik, keamanan, dan ekonomi.