Home Ekonomi Pasal-Pasal Tembakau di RPP Kesehatan Wujud Nyata Denormalisasi IHT Nasional

Pasal-Pasal Tembakau di RPP Kesehatan Wujud Nyata Denormalisasi IHT Nasional

Jakarta, Gatra.com - Pemerintah saat ini tengah menyusun draf atau Rancangan Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan).

Rencananya, RPP itu akan memuat sejumlah pengendalian produksi, penjualan, dan sponsorship produk tembakau. Mirisnya, RPP itu justru bakal mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Ketua Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengatakan bahwa pemberlakuan pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan, akan menghilangkan mata pencaharian lebih dari 6 juta masyarakat mulai dari buruh, petani tembakau, petani cengkeh, pedagang/peritel, serta pelaku industri kreatif.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk berhati-hati terhadap rancangan aturan tersebut. Pemerintah perlu memperhatikan banyaknya sektor yang terlibat di dalamnya.

"Kami meminta agar tidak tergesa memutuskan aturan tersebut dengan mempertimbangkan dampak sosial yang akan timbul dari pengaturan tersebut. Jika pasal-pasal tembakau di RPP tersebut diberlakukan, ancaman terhadap keberlangsungan IHT sangat nyata dan signifikan," ucap Henry.

GAPPRI yang menjadi wadah konfederasi bagi IHT jenis produk khas kretek, beranggotakan pabrikan dari berbagai golongan menilai bahwa sebaiknya aturan bagi produk tembakau dikeluarkan dari RPP Kesehatan dan diatur dalam peraturan sendiri. Bagi GAPPRI, pengaturan yang saat ini pun dirasa sudah berat. Selain karena kenaikan tarif cukai berdampak terutama susutnya produksi di golongan I juga banyaknya pabrik yang tutup dari 4.669 unit usaha di tahun 2007 menjadi 1.100 di tahun 2022.

Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia, Janoe Arijanto juga menyebut bahwa keberlangsungan industri kreatif dan penyiaran serta para tenaga kerjanya sangat terancam bila larangan total iklan produk tembakau diberlakukan. Rencana pelarangan total iklan pada pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan akan secara langsung mengurangi pendapatan industri kreatif, hiburan, dan periklanan. Hal ini juga akan berdampak terhadap keberlangsungan usahanya dan nasib tenaga kerja yang menggantungkan pekerjaannya kepada mata sektor tersebut.

"Penerimaan yang diperoleh industri kreatif akan menurun 9-10% yang akan berdampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan industri kreatif," ucap dia.

Janoe mengatakan, melansir data TV Audience Measurement Nielsen, iklan produk tembakau bernilai lebih Rp 9 triliun sementara kontribusi tembakau terhadap media digital mencapai sekitar 20% dari total pendapatan media digital di Indonesia yaitu sekitar ratusan miliar per tahun. Terlebih lagi, berdasarkan Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di 2021, industri kreatif memiliki lebih dari 725 ribu tenaga kerja dan secara umum, multi-sektor di industri kreatif juga mempekerjakan 19,1 juta tenaga kerja.

Dia menegaskan, selama ini industri kreatif nasional patuh pada aturan iklan produk tembakau yang telah ditetapkan. Industri juga turut mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok anak. Selama ini, terang Janoe, industri kreatif nasional senantiasa mematuhi peraturan yang berlaku dan iklan rokok telah diatur melalui sejumlah regulasi produk tembakau, diantaranya PP 109/2012 serta ketentuan yang telah diatur secara detil dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI).

"Dalam hal ini, penyempitan jam tayang iklan rokok di TV dalam RPP Kesehatan dinilai diskriminatif bagi industri kreatif nasional yang telah mematuhi segala aturan periklanan produk tembakau," kata dia.

Tidak Pernah Dilibatkan

Henry juga mengatakan, banyak pihak terdampak yang tidak diajak dalam merumuskan kebijakan tersebut. Padahal mereka yang akan menanggung beban kebijakan tersebut.

Henry juga menyampaikan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Presiden dan meminta agar pemerintah melibatkan pemangku kepentingan. GAPPRI juga meminta agar pembahasan dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan mempertimbangkan kearifan lokal, besaran ekonomi, penerimaan negara, serta serapan tenaga kerja dari industri tembakau nasional beserta industri terkait lainnya.

Hal itu juga diungkapkan Janoe. Dia menerangkan, industri kreatif nasional tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dan partisipasi publik RPP Kesehatan. Asosiasi Periklanan tidak pernah diinformasikan dan dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan yang akan berdampak terhadap keberlangsungan usaha.

"Selain itu, kementerian pembina sektor asosiasi bernaung juga tidak diajak berpartisipasi dalam mengkonsultasikan baik buruknya rancangan yang akan dijalankan kepada publik dan pihak terkait," papar Janoe.

Janoe menyayangkan hal tersebut, karena pemahaman industri kreatif menjadi sangat terbatas terkait rencana penerapan peraturan tersebut. Kebijakan ini seharusnya didiskusikan bersama pihak yang akan bersinggungan dengan regulasi, mengingat RPP Kesehatan mencakup banyak bidang usaha yang banyak dan beririsan dengan produk tembakau.

Menurutnya, pelibatan terhadap para pelaku industri dari pemerintah dalam membahas regulasi ini memang belum pernah terealisasi.

Pihaknya terbuka dalam diskusi proses penyusunan kebijakan agar dalam perubahannya tidak merugikan para pelaku industri kreatif serta tepat sasaran dalam mendukung upaya pemerintah.

“Kami juga berharap agar dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan yang akan berdampak terhadap industri kreatif," ujar Janoe.

34