Jakarta, Gatra.com - Pemerintah diminta untuk memberiperhatian terhadap kontribusi industri hasil tembakau (IHT) terhadap ekonomi Indonesia. Bukan hanya mampu mengisi pundi-pundi penerimaan pajak di tingkat nasional, IHT juga menjadi penggerak ekonomi dan serapan tenaga kerja di sektor padat karya.
Situasi dimana IHT menjadi salah satu kunci penggerak ekonomi terjadi di Jawa Timur. Setiap tahunnya provinsi ini menjadi penerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) terbesar. Kebijakan terhadap IHT akan langsung berdampak pada ekonomi daerah seperti Jawa Timur yang menggantungkan ekonomi dan serapan tenaga kerja dari sektor ini.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Timur, Iwan menyampaikan, IHT jadi sektor yang memberikan pengaruh signifikan bagi perekonomian Jawa Timur.
Kata dia, sub-sektor industri pengolahan ini mampu memberikan kontribusi terbesar kedua pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Industri Pengolahan Jawa Timur.
Selain itu, industri SKT berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja karena merupakan industri padat karya, dan memiliki keterkaitan sektor hulu hingga ke hilir yang sangat erat dalam penyerapan produksi tembakau lokal dengan melibatkan lebih dari 300.000 petani tembakau dan cengkih.
"Dominasi industri hasil tembakau di Jawa Timur secara otomatis menjadikan Provinsi Jawa Timur sebagai penyumbang cukai terbesar di Indonesia, berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja pada sektor tersebut,” terang Iwan dalam keterangan tertulis, Senin (22/7).
Dengan kontribusi yang besar ini, Iwan mengatakan penentuan kebijakan terkait IHT tidaklah sederhana, apalagi mempertimbangkan dampaknya bagi kemampuan industri dalam menyerap tenaga kerja cukup besar, khususnya di Jawa Timur.
Disamping itu, geliat IHT nasional juga berdampak dalam peningkatan permintaan komoditas tembakau sebagai bahan baku sehingga dapat memberikan keuntungan besar bagi petani tembakau.
IHT memberikan multiplier effect khususnya dalam sektor sosial atau penyedia lapangan kerja, dikarenakan sektor ini dikategorikan sebagai labor intensive baik dalam guna mendukung aktivitas on-farm hingga off-farm. Namun di sisi lain, konsumsi rokok memiliki risiko bagi kesehatan.
"Oleh karena itu dibutuhkan keselarasan dalam upaya edukasi bagi konsumen rokok, serta upaya perlindungan bagi pelaku tata niaga pertembakauan di Jawa Timur mulai dari hulu sampai hilir,” tegasnya.
Berdasarkan data triwulan I-2024, perekonomian Jawa Timur mengalami pertumbuhan sebesar 4,81 persen (y-on-y) dengan nilai PDRB Rp764,33T, di mana sektor Industri Pengolahan menjadi penopang utama struktur ekonomi Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 31,54 persen terhadap PDRB Jawa Timur.
Sub-sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) berkontribusi sebesar 22,78 persen, menjadikannya sub-sektor dengan kontribusi nilai ekonomi terbesar setelah Industri Makanan & Minuman. Jawa Timur sendiri merupakan provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia dengan sumbangsih sebesar 43,9% dari total produksi nasional.
Pada tahun 2023, tercatat terdapat 1.041 unit IHT di Jawa Timur, di mana 91,64 persen dari unit usaha tersebut memproduksi SKT dalam skala besar dan menengah dengan nilai produksi kurang lebih 195 miliar batang di tahun 2023.
Di kesempatan terpisah, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Najib Bukhori menegaskan secara prinsipnya terkait IHT, di dalamnya terdapat penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional yang idealnya didukung dan berjalan bersamaan.
Bagi Najib, kedua hal ini tidak bisa diabaikan sehingga perlindungan terhadap segmen sigaret kretek tangan (SKT) tetap harus dilakukan, terlebih untuk melindungi kepentingan berbagai pihak seperti petani tembakau yang kontribusinya sangat besar dalam mempertahankan komoditas tembakau nusantara.
“Kontribusi rokok SKT terhadap pendapatan negara sangat besar melalui cukai yang tinggi. Jika kita lihat dari sisi sosial dan kemanusiaan (penyerapan tenaga kerja), penting untuk mempertahankannya sejauh mungkin,” ungkapnya.
Untuk menentukan kebijakan IHT, Najib mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan keberlangsungan IHT segmen SKT sebagai sektor padat karya. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada SKT akan berdampak pada buruh yang berisiko pada rasionalisasi karyawan atau PHK, di mana hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja oleh negara.
Kebijakan pemerintah tidak boleh mengakibatkan PHK terhadap karyawan. Najib juga berpesan, pemerintah perlu memastikan kelangsungan petani tembakau dan kehidupan di SKT itu sendiri.
“Jadi, prinsip utama yang harus diperhatikan adalah dampaknya terhadap pabrik rokok, terutama SKT, dan kesejahteraan buruh serta petani tembakau,” jelasnya