Home Lingkungan Pengakuan Pengelolaan Mangrove dan Potret Persoalannya

Pengakuan Pengelolaan Mangrove dan Potret Persoalannya

Jakarta,Gatra.com-Indonesia mendapat kepercayaan menjadi Ketua Bersama Aliansi Mangrove untuk Iklim atau Mangrove Alliance for Climate (MAC). Organisasi ini beranggotakan 34 negara yang dianggap berkomitmen pada restorasi dan konservasi mangrove.

“Sebuah kehormatan sekaligus tanggungjawab besar Indonesia,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Ad Interim sekaligus Menteri BUMN, Erick Thohir melalui siarap pers yang diterima Gatra, Senin (11/12) lalu.

Erick mengungkapkan hal tersebut saat melaksanakan lawatan ke Dubai, Uni Emirat Arab, berkaitan dengan Konferensi Para Mitra ke – 28 atau COP28. Saat itu, Erick menghadiri pertemuan tingkat menteri negara – negara yang tergabung dalam MAC. Gabungan seluruh MAC ini berkaitan dengan Kawasan mangrove yang berkontribusi 70% dari total mangrove dunia.

UAE dan Indonesia, lanjut Erick, kemudian bersepakat mendirikan International Mangrove Research Center (IMRC) di Bali. Harapannya, kedepan IMRC menjadi laboratorium mangrove terbesar di dunia sekaligus menjadi wadah kerja sama internasional untuk meningkatkan kapasitas dengan pertukaran pakar, dan penelitian bersama.

Baca juga : Selain Cegah Abrasi, Mangrove Juga Punya Dampak Ekonomi

Diketahui, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia memiliki 3,39 juta hektar mangrove atau setara 21 persen total hutan bakau dunia. Peran serta badan usaha, masyarakat, dan dukungan pemerintah bisa memaksimalkan upaya konservasi pada ekosistem mangrove Indonesia.

Terlebih, menurut Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove KLHK Inge Retnowati menyampaikan berdasarkan Peta Mangrove Nasional (PMN) tahun 2022, luas mangrove yang ada di Tanah Air meningkat menjadi 3,39 juta hektare.

Bila dipetakan berdasarkan jenisnya, jumlah mangrove lebat yang memiliki tutupan tajuk lebih dari 70 persen sebanyak 3,16 juta hektare, mangrove sedang dengan tutupan tajuk 30-70 persen sebanyak 186,5 ribu hektare, serta mangrove jarang yang memiliki tutupan tajuk kurang dari 30 persen sebanyak 53,8 ribu hektare.

Adapun provinsi dengan total hutan bakau terluas adalah Papua yang memiliki lahan mangrove lebih dari 1 juta hektare, diikuti Provinsi Papua Barat 480 ribu hektare, serta Riau 227 ribu hektare. Selain itu bila dideretkan berdasarkan pulau, Papua, Kalimantan, dan Sumatera menjadi penyumbang terbesar luas hutan bakau di Tanah Air.

Potret Kerusakan Mangrove

Di Indonesia, kerusakan mangrove memang menjadi perhatian sejumlah pihak. Misalnya, seperti yang diungkap Walhi, pada momen Hari Mangrove Sedunia, Julii 2023 lalu. Kerusakan terjadi di Mangunharjo, Kota Semarang. Disana, masyarakat berjuang memulihkan mangrove sejak 2005 karena mengalami abrasi seluas 160 hektar. Keberadaan industri ditengarai menjadi salah satu penyebab, karena turunnya muka tanah secara signifikan antara 15-25 cm tiap tahunnya.

Saat ini, komunitas disana terus bekerja menjaga ekosistem pesisir dengan terus menerus menanam dan memuliakan mangrove. Hasilnya, wilayah terdampak abrasi seluas 160 hektar telah pulih. Lebih jauh, mangrove yang tumbuh telah dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memproduksi pangan dan minuman olahan.

Kerusakan ekosistem mangrove juga terjadi di wilayah pesisir Sumatera, khususnya di wilayah mangrove yang menjadi greenbelt pertambakan udang Dipasena, Lampung. Di kawasan ini, ekosistem mangrove seluas 200 hektar telah hilang akibat abrasi, dan 400 hektar telah rusak karena alih fungsi menjadi tambak liar. Padahal, lebih dari 5 ribu keluarga pembudidaya udang menggantungkan hidupnya pada sektor budidaya udang ini.

Sejumlah pembudidaya udang sekaligus pemulian mangrove Dipasena menyebutkan sebanyak 50 keluarga pembudidaya udang telah direlokasi ke tempat yang lebih aman, lalu sebanyak 25 hektar tambak udang telah jebol serta tidak bisa dikelola untuk budi daya udang.

Baca juga : Meski Mengklaim Sukses Menurunkan Emisi, Pemerintah Jangan Lengah

HIlangnya ekosistem mangrove seluas 600 hektar telah memicu penurunan hasil produksi budidaya udang di Dipasena secara drastis. Ia mencatat, Ketika ekosistem mangrove masih terjaga, para pembudidaya udang dapat memanen udang sebanyak 60 sampai 70 ton per hari. Sayangnya, tidak ada penegakan hukum terhadap perusakan ekosistem mangrove meski telah terdapat UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 yang secara tegas melarang perusakan mangrove dan memberikan sanksi tegas bagi para perusak mangrove.

Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional, Parid Ridwanuddin, perlindungan terhadap mangrove telah menjadi perhatian masyarakat global dan setiap tahun, tepatnya tanggal 26 Juli diperingati sebagai hari Mangrove Sedunia. Peringatan ini menjadi momentum yang sangat tepat dan sangat baik untuk mengkampanyekan isu perlindungan mangrove untuk penyelamatan ekosistem dan kehidupan masyarakat pesisir, termasuk bagi kehidupan perempuan pesisir. Terlebih lagi tahun 2023 merupakan tahun politik, menjelang Pemilu yang akan diadakan pada awal tahun 2024.

“Pada tahun ini, isu mengenai perlindungan masyarakat pesisir dan ekosistem mangrove penting untuk dikemukakan dalam rangka mengarusutamakan keadilan iklim dan wilayah kelola masyarakat,” ungkap Parid.

Baca juga : Ancaman Proyek Food Estate, Mengulang Kegagalan Masa Lalu?

Senada dengan itu, Melva Harahap, Manajer Kajian Bencana Eksekutif Nasional Walhi menyebut bahwa ekosistem mangrove di banyak tempat di Indonesia telah terbukti menjadi benteng alami dari ancaman bencana, seperti tsunami dan banjir rob di wilayah pesisir di Indonesia. Keberadaan ekosistem mangrove itu terjaga karenanya adanya pengetahuan masyarakat yang hidup dan terus menjaganya.

“Pada titik ini, perlindungan mangrove dalam konteks mitigasi bencana harus melibatkan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pengalaman, bukan hanya akademisi yang pendekatannya selalu teknokratis,” ungkapnya.

260