Yogyakarta, Gatra.com - Pertunjukan Lawatari Indonesian Dance Festival (IDF) hari pertama di Yogyakarta menampilkan tiga karya tari. Karya tersebut adalah Atandang oleh koreografer Sri Cicik Handayani, Ganda oleh koreografer Valentina Ambarwati, dan Budi Bermain Boal oleh koreografer Megatruh Banyu Mili. Ketiga karya tersebut ditampilkan di Studio Banjarmili, Sabtu (20/1) malam.
Penampilan pertama, Atandang, coba menelusuri aktivitas “nandang” (menari) para penayub. Gestur dan korporealitas tubuh laki-laki dalam koreografi seni tradisi dibaca ulang melalui sudut pandang perempuan penandak. Penampilan ini membawa seorang penari perempuan yang dikelilingi oleh empat orang penayub. Melengkapi suasana panggung, tiga proyektor menembakan aneka bayangan ornamentik di sisi belakang panggung.
Pertunjukan dibuka dengan tiga orang penari laki-laki yang duduk di tengah panggung. Kemudian layar belakang terbuka dan seorang penari wanita masuk ke arena, memposisikan diri di tengah mereka. Tarian awal dimulai dalam posisi duduk dan berjongkok. Para penayub bergerak mengelilingi perempuan penandak dalam posisi jalan jongkok.
Lama kelamaan gerak yang muncul lebih atraktif. Para penayub dan perempuan penandak –yang awalnya hanya diam tak menghiraukan para penayub– mulai saling memberikan tatapan dan respons atas gerak satu sama lain.
Kemudian mereka berdiri dan menari sambil terus saling menatap antar satu dengan lainnya. Si perempuan penandak menjadi pusat dari segala gerak para penayub. Penayub dan perempuan penandak di beberapa bagian melagukan tembang berbahasa Madura.
Perkembangan karya ini pernah ditampilkan di Paradance #31, Sawung Dance Festival 2023, dan Tidak Sekedar Tari (TST) #81. Adapun Sri Cicik Handayani merupakan penari dan koreografer dari Sumenep, Madura. Beberapa karya yang dia ciptakan di antaranya Masak Macak Manak (2020), POTEH (2021), TOK (2021), Tande (2022), dan Nandhang (2023).
Di penampilan kedua, Ganda oleh koreografer Valentina Ambarwati, ditampilkan karya tari yang menggambarkan perjalanan emosional dan fisik perempuan buruh gendong yang bekerja di pasar Beringharjo, Yogyakarta. Karya ini mempertanyakan peran ganda mereka dalam ruang domestik dan professional.
Baca Juga: IDF Lawatari: Yogyakarta, Pertemukan Proses Pengembangan Karya dan Praktik Inkubasi
Karya tari ini disajikan dalam gerak simbolis representasional. Gerak yang muncul merupakan sumber dari pencarian gerak-gerak aktivitas keseharian seperti berjalan, menggendong, mengangkat dan menahan. Maka dalam beberapa gerak yang ditampilkan di panggung itu kita bisa melihat simbol-simbol yang secara kuat memperlihatkan nuansa gerak para buruh gendong.
Dalam satu bagian, simbol-simbol domestik ditampilkan dalam kostum dan properti para penari. Seperti celemek, kain, dan sandal jepit. Kain-kain itu dibentuk menjadi satu lingkaran dengan tiga penari menari dalam gerak luwes di dalamnya. Bertolak belakang dengan gerak lain di luar panggung kala penari menggendong beberapa penonton yang terkesan kuat, mengangkat sembari menahan beban berat yang mewujudkan nuansa maskulinitas.
Valentina Ambarwati mempelajari tari Jawa klasik gaya Yogyakarta, kreasi baru serta modern saat bersekolah di SMKI Yogyakarta. Ia melanjutkan pendidikan sarjana tari di program studi Penciptaan Seni Tari, kemudian Pascasarjana di ISI Yogyakarta yang mengarahkannya untuk mengeksplorasi seni lintas disiplin dan tari kontemporer.
Beberapa karya Valentina termasuk Degup (2019), AdiSiPeLit (2020), film tari Aritmia (2020), Balance (2021), dan Melbourne Soereng (2021) yang dipresentasikan di Festival Lima Gunung dan Melbourne University, X-Garden dan LURIK (2022). Tahun 2023, Valentina menerima juara 3 dalam Festival Sendratari Kabupaten Bantul untuk karya tari Ganda, yang ia kembangkan dalam Mila Art Dance Laboratory: RIKMA #1.
Pada pertunjukan terakhir, Budi Bermain Boal menampilkan tiga penari, termasuk di dalamnya koreografer Megatruh Banyu Mili, dengan persona siswa sekolah dasar. Pertunjukan dibuka dengan penampilan dua orang siswa yang duduk di bangku sekolah tanpa meja. Keduanya mengeluarkan gerakan-gerakan berulang sembari duduk: mengangkat tangan seperti ingin bertanya, mengeluarkan senyum terpaksa, hingga bersedekap.
Premis karya ini adalah tentang bagaimana sebuah idiom –sebagai bagian dari metode pendidikan– tanpa disadari memengaruhi pandangan dan perilaku sehari-hari. Premis ini kemudian diurai melalui kerja interdisiplin yang mengekstraksi tubuh (tari) dengan pendekatan teater ala Augusto Boal, sehingga memberi dimensi lain pada karya.
Dalam pertunjukan ini, gugatan pada penyeragaman dan dunia pendidikan ditampilkan di banyak koreografi. Mulai dari gerakan tari yang diseragamkan dalam pendidikan tari di sekolah -dan penari harus selalu tersenyum di ujung gerakan- hingga bagaimana perempuan menjadi tempat berpijak sambil menanggung beban dan keinginan lelaki tanpa kuasa untuk menolak.
Megatruh Banyu Mili adalah adalah penari dan koreografer asal Yogyakarta. Megatruh mulai aktif terlibat dalam dunia seni pertunjukan pada 2010 bersama Bengkel Mime Theatre dan Teater Garasi/Garasi Performance Institute.
Sejak 2018, Megatruh berfokus menciptakan karya yang berangkat dari isu tentang pendidikan; baik dalam pendidikan formal maupun di lingkungan dan keluarga. Karya-karyanya antara lain yaitu Space of Silence (2018), Aku Siapa (2019), Nama Saya Budi (2020), Ini Budi (2020), Ini Bapak Budi (2021) dan Budi Bermain Bola (2022).
Baca Juga: Butet Kartaredjasa Siap Pentaskan “Musuh Bebuyutan” di Yogyakarta
Untuk diketahui, Program Lawatari digagas untuk menghubungkan IDF dengan penggiat seni pertunjukan di kota yang dituju melalui pementasan karya. Dalam setiap lawatannya IDF selalu bekerja sama dan berkolaborasi dengan penggiat seni pertunjukan lokal. Nama Lawatari dibentuk dari gabungan dua kata yaitu “Lawat” dan “Tari”.
Nama ini menyiratkan semangat IDF dalam melawat ke kantong-kantong seni pertunjukan di Indonesia. Selain itu program ini bertujuan menjalin keterhubungan yang mendukung perkembangan ekosistem seni pertunjukan di Indonesia, baik di depan maupun balik layar. Sebelumnya program Lawatari telah digelar Makassar (September 2023) dan Padang Panjang (Desember 2023).
Pada lawatan ke Yogyakarta kali ini, program yang dirancang mempertemukan proses pengembangan karya yang dilakukan IDF melalui program Kampana, dengan praktik inkubasi yang dijalani oleh Paradance Platform dan MAD Lab.