Home Lingkungan Pemerintah Harus Perhatikan Kualitas BBM, Bioethanol Bukan Solusi Krisis Udara

Pemerintah Harus Perhatikan Kualitas BBM, Bioethanol Bukan Solusi Krisis Udara

Jakarta, Gatra.com – Pemerintah energi Muhammad Badaruddin mengatakan, pemerintah seharusnya juga memperhatikan kualitas bahan bakar minyak (BBM) kendaraan karena sektor transportasi merupakan penyumbang emisi terbesar.

Badaruddin dalam keterangan pada Sabtu (24/2), menyampaikan, pemerintah harus memperhatikan hal tersebut karena kebijakan untuk memperbaiki kualitas udara tidak cukup hanya pada uji emisi kendaraan, rekayasa cuaca untuk memancing hujan, mendorong penggunaan kendaraan umum, serta mengawasi industri, dan pembangkit listrik saja.

Terlebih lanjut pria yang karib disapa Badar ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, pada tahun 2023 pernah melaporkan bahwa sektor transportasi berkontribusi sebesar 44% dari penggunaan bahan bakar di Jakarta.

Angka kontribusi tersebut terdiri dari dari 17 juta sepeda motor, 4,2 juta mobil penumpang, 856 ribu truk, dan 344 ribu bus. Diikuti industri energi 31%, lalu manufaktur industri 10%, sektor perumahan 14%, dan komersial 1%.

“Ini menjadi bukti bahwa kebijakan uji emisi saja tidak akan menjadi solusi,” katanya.

Sebab, lanjut dia, masalahnya bukan hanya pada persoalan mesin kendaraan yang kotor, namun juga disebabkan kualitas BBM yang tidak memenuhi standar Euro 4 yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Menurutnya, BBM jenis RON 92 atau Pertamax pun belum memenuhi standar bahan bakar untuk jenis mesin Euro 4 yang mampu mengeluarkan emisi yang lebih bersih dibandingkan dengan mesin lainnya.

Padahal, kata dia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan, yakni P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017, mengatur BBM harus berstandar emisi Euro IV yang berlaku bagi kendaraan roda empat berbahan bakar bensin sejak Oktober 2020.

"Namun ironisnya, bahan bakar yang digunakan di Indonesia, baik itu bensin maupun solar masih belum memenuhi standar emisi Euro IV,” ujarnya.

Menurut Badar, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara paling tertinggal di Asia Tenggara, dalam komitmen peralihan penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan.

Badar mengungkapkan, berdasarkan data KPBB, saat ini Indonesia menjadi negara terakhir di Asia Tenggara yang belum mengadopsi standar Euro 4. Negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia sudah mengadopsinya. Bahkan Singapura sudah mengadopsi standar Euro 5.

Ia menjelaskan, BBM dikatakan standar Euro IV, jika kandungan sulfur dalam bahan bakar tidak boleh melebihi 10 parts per million (ppm). Adapun bahan bakar seperti bensin dengan nilai oktan atau Research Octane Number (RON) 88 dan Pertalite (RON 91) memiliki kandungan sulfur maksimal 500 ppm. Kemudian, Pertamax Turbo (RON 98) memiliki kandungan sulfur maksimal 50 ppm.

Lebih lanjut ia menyampaikan, alih-alih meningkatkan kualitas BBM sesuai standar Euro IV yang urgen dilakukan saat ini, ada pasangan capres dan cawapres tertentu justru fokus pada bioetanol yang membutuhkan investasi besar dan waktu yang panjang.

“Padahal, kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan udara bersih, adalah kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi,” ujarnya.

Selain tak menjamin bisa mengatasi kualitas udara yang semakin memburuk, Badar melihat, implementasi bioethanol juga menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.

“Dari sudut pandang pelaku industri, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) belum menyarankan atau meminta merek mobil melakukan modifikasi untuk penggunaan bahan bakar bioetanol,” katanya.

Selain itu, kalau ngotot akan menggunakan bioethanol untuk mengganti solar dan Pertalite, maka ketergantungan Indonesia pada impor akan meroket karena pasokan etanol domestik saat ini tidak cukup.

“Mau tidak mau justru akan membuka keran impor etanol dan ini membuat harga BBM semakin tidak terjangkau,” ujar Badar.

Sebelumnya, dalam debat capres dan cawapres sempat menyinggung mengenai pengembangan energi bersih menjadi janji para capres. Pasangan pasangan Anies-Muhaimin, meskipun belum mengeluarkan kebijakan taktis, namun menekankan pentingnya rencana yang menyeluruh terkait transisi energi.

Pasangan Prabowo-Gibran, berencana akan memperbanyak sumber bioetanol sebagai bentuk transisi energi bersih. Sementara itu Ganjar-Mahfud berjanji akan menjadikan transisi energi baru terbarukan (EBT) menjadi sebuah peluang investasi.

Terkait dengan penggunaan bioetanol sebagai bentuk transisi energi bersih sebagaimana yang digaungkan pasangan Prabowo-Gibran, pemerintah Jokowi saat ini tengah berupaya memanfaatkan etanol sebagai campuran BBM. Salah satu produk yang telah memanfaatkan etanol yakni Pertamax Green 95.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, menyampaikan, Indonesia butuh waktu untuk memanfaatkan etanol secara besar-besaran. Bahan baku masih menjadi tantangan untuk pengembangan etanol ini.

Menurutnya, pengembangan etanol tidak bisa secepat biodiesel. Sedangkan jika menggunakan etanol impor akan berdampak pada biaya dan harga bahan bakar.

“Itu masih agak lama etanolnya karena pakai apa kita. Kalau biodiesel kita punya hulunya, kelapa sawit, tapi ini kan kita belum punya,” kata Tutuka.

Ia melanjutkan, awal rantai pasoknya enggak punya di hulunya sehingga tidak bisa cepat seperti biodiesel. “Karena kalau impor pasti akan tambah biaya dan tinggi harganya,” kata dia.

Argumentasi yang dikemukakan Tutuka tersebut semakin memperjelas pendapat Badar bahwa penggunaan bioetanol untuk kendaraan bermotor perlu dievaluasi.

“Semangat untuk mengembangkan bioetanol perlu kembali dipikirkan masak-masak,” kata Badar.

Menurutnya, jangan sampai ambisi untuk mengembangkan bioethanol yang membutuhkan waktu dan biaya yang mahal, justru membuat masyarakat semakin lama hidup dengan udara penuh polusi.

40