Jakarta, Gatra.com - Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan alasan pelarangan umrah mandiri dan umrah backpacker bagi jemaah Indonesia, salah satunya soal keselamatan jemaah. Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag Jaja Jaelani berpandangan baik umrah mandiri maupun umrah backpacker bertentangan dengan Undang-Undang (UU).
Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah (AMPHURI), Firman M. Nur mengatakan bahwa sebagai warga negara Indonesia, aturan penyelenggaraan haji dan umrah telah tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Di dalamnya, termuat bahwa siapa saja yang ingin menyelenggarakan haji atau umrah harus dijalankan melalui pemerintah atau penyelenggara yang diakui negara.
“UU tersebut dibuat untuk memastikan umat muslim Indonesia mendapat kesempatan beribadah, dan negara memastikan bahwa ketika melakukan perjalanan ibadah, seluruh umat muslim Indonesia dapat menunaikan ibadahnya secara baik dan benar,” ujar Firman saat dihubungi Gatra.com pada Jumat (23/2).
Amanah UU tersebut menyatakan, setiap ibadah haji regular akan dilayani oleh negara atau pemerintah, sedangkan haji khusus dilayani Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Sementara, perjalanan umrah yang dilakukan perseorangan maupun kelompok, maka harus melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Hal ini ditujukan agar masyarakat yang menunaikan ibadah mendapat kepastian pelayanan serta bimbingan untuk memastikan ibadah dilangsungkan secara benar dan sesuai dengan syariat.
Meskipun UU sudah mengakomodir soal penyelenggaraan umrah, salah satu Anggota DPR fraksi PKS Hidayat Nur Wahid berpendapat bahwa revisi UU perlu dilakukan untuk menyelaraskan kebijakan Pemerintah Arab Saudi guna mengakomodasi dibolehkannya umrah mandiri. Tak tanggung, MUI juga turut membuat pernyataan bahwa penyelenggaraan umrah mandiri bukan masalah, selama tidak memalukan Indonesia.
Firman sependapat bahwa revisi UU diperlukan, terutama mengikuti perkembangan situasi yang ada di Arab Saudi, namun dengan tetap memperhatikan perlindungan jemaah. Secara prinsip, ia mengakui kalau pelaksanaan umrah mandiri tidak bermasalah, tapi persoalannya ada di kepastian perlindungan.
“Kalau terjadi masalah di sana, siapa yang melindungi mereka di lapangan? Kami juga berharap UU tersebut tetap mengakomodir bahwasanya sektor usaha haji dan umrah adalah sektor usaha ibadah, yang berhubungan erat dengan banyak pihak,” katanya.
Ia menyatakan bahwa sebagai perjalanan ibadah, tentu pelaksanaan umrah berbeda dengan perjalanan wisata lainnya. Terdapat hal-hal tertentu yang menjadi kewajiban untuk membuat ibadah yang dijalani sah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
“Agar perjalanan sesuai dan benar, tentu harus ada pembimbing. Makanya di sana fungsinya PPIU, bukan hanya sebagai penyedia fasilitas tapi juga penyedia bimbingan,” tuturnya.
Selain soal perlindungan, persoalan yang muncul saat umrah mandiri adalah bermunculaanya pihak-pihak atau orang-orang yang menyebut dirinya sebagai penyelenggara umrah kolektif. Hal tersebut menurutnya melanggar dan tidak sesuai ketentuan.
Persoalan lainnya yakni adanya individu pelaku PPIU yang mengklaim dirinya umrah mandiri, padahal merupakan penyedia fasilitas. Bahkan, PPIU yang hanya menjual visa juga bisa menjadi masalah karena itu tidak sesuai dengan izin operasionalnya selaku PPIU.
Karena itu, penting bagi penyelenggara memastikan pelayanan yang diberikan sesuai dengan apa yang dibayar oleh masyarakat yang hendak beribadah umrah. Melalui PPIU, masyarakat mendapat perlindungan terhadap apa yang dia bayarkan karena terdapat sistem money controlling yang berkekuatan hukum tetap.
"Jadi ketika ada wanprestasi, bisa dilakukan support dari pemerintah melalui mekanisme yang ada. Tapi kalau melalui individu yang bukan PPIU, ketidaksesuaian itu tidak bisa dipertanggungjawabkan," ucapnya.
Menurutnya, masyarakat yang mengeluhkan tingginya biaya haji dan umrah sehingga memilih berumrah secara mandiri, belum tentu kenyataannya mengeluarkan uang lebih sedikit dibandingkan berangkat bersama PPIU. “Misalnya secara biaya transportasi sebagai fixed cost, secara logika maka travel akan mendapat harga tiket lebih murah karena terdapat kerja sama dengan maskapai. Pun ketika mobilisasi di sana, biaya per orang yang dikeluarkan travel tidak besar,” ujar Firman.
Sementara bila bepergian sendiri, mencari tiket pulang-pergi saja pada dasarnya bisa mendapat harga lebih tinggi. Ia mengatakan bahwa kasus mendapat tiket murah karena promo tidak bisa dijadikan acuan karena jumlahnya yang jauh lebih sedikit dan bukan merupakan harga wajar yang biasa dikeluarkan.
"Kami di travel, biaya transport di sana hanya 35 dolar per orang, apakah bisa umrah mandiri dengan biaya sama? Umrah mandiri lebih murah itu adalah klaim sepihak untuk memotivasi orang. Lalu kalau ada kejadian luar biasa, ke mana mereka akan melapor? Tidak ada mekanisme pengawasan," ungkapnya.
Meskipun jumlah masyarakat yang beribadah tahun 2023 tidak sebanyak tahun sebelumnya, ia menilai itu hal yang wajar. Sebab, pada 2022 lalu terjadi lonjakan jemaah karena bubble, yakni orang yang tidak berangkat karena pandemi. Ketika larangan datang ke Arab Saudi sudah tidak diberlakukan, akhirnya bisa berumrah. Tahun lalu, jumlahnya sekitar 1 juta jemaah pergi umrah, yang merupakan angka normal ketika sebelum pandemi.
Menyikapi hal tersebut, ia menegaskan bahwa pemerintah harus hadir melayani masyarakat yang beribadah ke sana. Pengawasannya tentu akan lebih mudah dengan sistem yang sudah dilakukan, yakni melalui PPIU. Peran asosiasi menurutnya penting untuk memastikan kesesuaian fasilitas yang diberikan dengan apa yang diterima oleh jamaah.
"Baru saja kami duduk bersama asosiasi wisata Arab Saudi, mereka tidak masalah umrah sesuai prosedur. Justru lebih mudah untuk koordinasi, pengawasan, kontrol, seperti kapan mereka masuk dan keluar, kalau ada masalah seperti apa, kalau sakit siapa penanggung jawabnya, siapa yang akan ditanya, itu yang memudahkan," pungkasnya.
Reporter: Ridhayanti Nur Sadrina
Editor: Andhika Dinata