Home Lingkungan Transisi Energi Penting Dilakukan Sejalan dengan Fenomena Krisis Iklim

Transisi Energi Penting Dilakukan Sejalan dengan Fenomena Krisis Iklim

Jakarta, Gatra.com- Deputi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin mengungkapkan, transisi energi merupakan isu strategis bagi Indonesia. Pasalnya, dari perspektif lingkungan, posisi geografis Indonesia di khatulistiwa membuat negeri ini rentan terhadap perubahan iklim.

Sementara dari sisi kesehatan, polusi udara akibat masifnya penggunaan energi fosil memerlukan perhatian khusus. Rachmat mengungkapkan, urgensi transisi energi adalah murni demi pelestarian lingkungan yang turut dipengaruhi dinamika geopolitik.

Dia sependapat dengan pandangan yang meyakini transisi energi penting dilakukan sejalan dengan fenomena krisis iklim. “Secara sains, memang benar (transisi energi dibutuhkan). Tapi, tantangan selanjutnya adalah, bagaimana cara terbaik untuk melakukan transisi energi tersebut?” ucap Rachmat di sesi Energy Transition as A Driver of Economic Growth pada acara Indonesian Data Economic and Conference (IDE) Katadata 2024, di Jakarta, Selasa (5/3).

Baca juga: 20 Cekungan Migas RI Simpan Potensi Besar Penyimpanan Karbon

Sesi ini juga diikuti oleh oleh Senior Fellow PYC Evita Legowo, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, Direktur Eksplorasi PT Pertamina Hulu Energi Muharram Jaya Panguriseng, dan Ketua Satuan Tugas Transisi Energi Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Anthony Utomo. Sesi dimoderatori oleh pengamat energi Ahmad Yuniarto.

Lebih lanjut, Rahmat menjelaskan, ada empat hal yang harus tercakup di dalam strategi transisi energi. Antara lain efisiensi penggunaan energi, elektrifikasi, pemanfaatan energi ramah lingkungan, serta penggunaan carbon capture.

“Masing-masing (dari empat poin) ini peluang ekonominya cukup besar. Kalau dari sisi energi efisiensi kita banyak room for improvement, efisiensi energi ini PR kita di pemerintah. Kita juga bisa dorong teknologi-teknologi yang sekaligus bisa untuk menghemat energi, tapi juga mengelektrifikasi. Contohnya mobil listrik,” kata Rachmat.

Sementara itu, Evita mengutarakan, proses transisi energi akan memengaruhi posisi Indonesia di dalam geopolitik energi global. Dengan kata lain, transisi energi akan berpengaruh terhadap posisi negara-negara produsen dan konsumen. “Akan bergeser mengenai siapa yang suplier siapa yang konsumen, dan Indonesia harus siap untuk itu,” ucap Evita.

Baca juga: Gencarkan Program Eksplorasi, Ini Strategi PHE

Evita mengimbuhkan, energi baru terbarukan berpotensi memposisikan RI pada titik strategis sebagai pemasok. “Salah satu potensi EBT yang cukup besar dimiliki Indonesia adalah panas bumi dan bioenergi. Panas bumi dan bioenergi sangat potensial untuk Indonesia sebagai pemasok,” katanya.

Adapun Pengamat Energi, Komaidi mengingatkan agar pemerintah harus menggunakan sudut pandang helikopter yang lebih menyeluruh di dalam menjalankan transisi energi ini. “Pemerintah harus tepat mengetahui kapan harus injak gas dan kapan injak rem. Sehingga, lebih bijaksana dalam memberikan wadah dan fasilitas atau insentif,” tuturbya.

Ia mencontohkan, pondasi pembangunan ekonomi Indonesia yang cukup kuat dan mendasar adalah sektor minyak dan gas. Berdasarkan tabel input-output publikasi terbaru, industri hulu migas tercatat memiliki keterkaitan dengan sekitar 84 sektor pendukung dan 45 sektor pengguna.

Berdasarkan data tersebut, industri hulu migas memiliki keterkaitan dengan 129 sektor ekonomi dari sekitar 185 total sektor ekonomi yang ada di dalam struktur ekonomi Indonesia. “Indonesia mempunyai 185 sektor ekonomi yang terkait dengan sektor hilir migas ada 183. Sementara yang di hulunya itu hampir 80 persen terkait dengan (industri minyak dan gas),” ujar Komaidi.

Berkaca pada realitas tersebut, Komaidi menyatakan bahwa apabila industri migas mandek, maka hal itu akan menimbulkan dampak terhadap industri-industri lain yang berkaitan dengan mereka.

63