Jakarta, Gatra.com - Majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencecar Anggota BPK, E. Priyonggo Sumbodo, yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara korupsi proyek pengadaan BTS 4G BAKTI Kominfo yang melibatkan terdakwa Achsanul Qosasi, mantan anggota III Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).
Saksi Priyonggo yang merupakan Wakil Penanggungjawab Tim Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap Kominfo pada tahun 2021. Dia dicecar mengenai awal mula PDTT Lanjutan terhadap BAKTI Kominfo pada tahun 2022.
Baik jaksa maupun majelis hakim menilai, banyak kesaksian yang ditutupi oleh Priyonggo. Hal ini terlihat ketika jaksa bertanya mengenai surat dari Kejaksaan Agung (Kejagung) kepada BPK terkait permintaan data proses perencanaan dan proses pelaksanaan proses penyediaan BTS 4G.
Priyonggo mengaku mengetahui soal surat dari Kejaksaan Agung yang diterima BPK sekitar 25 April 2022 itu. Namun, dirinya tidak secara lugas menjawab kepada siapa surat tersebut didisposisikan.
“Pada waktu itu mengingat pada bulan April ada perubahan pejabat kami, yang lama pensiun. Terus, ada pejabat baru per April itu, [surat] ditujukan ke saya,” ucap Priyonggo Sambodo saat diperiksa sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (14/3).
Melihat cara menjawab Priyonggo yang terkesan lambat dan agak menghindar, Ketua Majelis Hakim, Fahzal Hendri, pun menegur saksi meski tidak dinyatakan melalui mikrofon. Jaksa pun menyampaikan teguran kepada saksi secara tegas.
“Saya mengingatkan saudara ya, kalau bapak tidak menjelaskan fakta-fakta, ada UU yang mengatur dan bapak juga sudah pernah di-BAP, ya pak,” ucap salah satu jaksa.
Kemudian, jaksa mempertanyakan langkah yang dilakukan BPK usai menerima surat dari Kejagung. Priyonggo mengatakan, BPK mulai memprosesnya PDTT lanjutan terhadap BAKTI untuk periode semester 2 pada tahun 2022.
Ketika ditanya siapa yang memerintahkan PDTT lanjutan tersebut, Priyonggo terlihat agak ragu untuk menjawab. Namun, akhirnya, ia pun menyebut nama Achsanul sebagai pihak yang mendisposisikan surat tersebut kepadanya.
Jaksa pun menanyakan alasan BPK kembali melakukan DPTT setelah sebelumnya telah melakukan hal yang sama.
“Izin pak jaksa. Jadi, pemeriksaan BTS ini berkelanjutan pak, karena lebih dari 1 tahun juga,” jawab Priyonggo.
Jaksa menilai jawaban Priyonggo bertele-tele dan tidak sesuai dengan kesaksiannya yang tertuang dalam BAP.
“Bapak pernah mengatakan tujuannya [DPTT Lanjutan] untuk mengimbangi penyidikan Kejaksaan. Tapi, ini Kejaksaan bersurat, pak. Minta dokumen, tapi kok langsung ada PDTT,” cecar jaksa.
Priyonggo terlihat ragu. “Saya posisi di sini sebagai Wakil Penanggungjawab, sebagai eselon 2, pak,” ujarnya.
Mendengar jawaban Priyonggo, jaksa pun membacakan BAP nomor 18 yang diambil pada tanggal 21 November 2023. Ketika diperiksa penyidik, Priyonggo mengaku, dirinya dipanggil untuk menghadap Achsanul usai BPO menerima surat dari Kejagung.
Ketika dirinya juga dicecar hakim mengenai kejadian ini, Priyonggo pun mencoba menceritakan peristiwa yang ia alami.
“Baik Yang Mulia pada awalnya eh, … Kami pernah diajak diskusi. Ada surat dari Kejaksaan Agung. Kami ya pak. Jadi, bukan saya saja,” ucap Priyonggo.
Ia menegaskan, dirinya adalah salah satu yang dipanggil Achsanul. Namun, Priyonggo juga tidak menyebutkan nama lain dalam kesaksiannya.
“Kayaknya saudara stres, terus berat gitu [cara bicaranya] Kenapa saudara? Achsanul Qosasi aja gak apa-apa. Kenapa saudara pucat, saudara stres ya?” tanya Hakim Ketua Fahzal Hendri menyadari perubahan sikap Priyonggo.
Priyonggo mengaku dirinya telah berterus-terang kalau ada beberapa orang yang dipanggil Achsanul Qosasi terkait surat dari Kejagung. Ia mengatakan, untuk memproses surat tersebut, dilakukan secara struktural dalam tubuh BPK.
“Kami berjenjang, Pak. Dari disposisi, karena itu bulan Juni, disposisi bulan Juni tanggal 20. Begitu turun ke saya, langsung saya disposisi ke pejabat eselon di bawah saya untuk menindaklanjuti disposisi Pak Anggota III [Achsanul],” jelas Priyonggo.
Ia mengaku, ketika surat Kejagung itu sampai kepadanya, Achsanul meminta agar proses pemeriksaan tahap 2 kepada BTS 4G segera disiapkan. Priyonggo juga diminta untuk membalas surat dari Kejagung tersebut.
“[Surat Kejagung] kami tindaklanjuti, berjenjang sampai ke eselon 1. Eselon 1 naik lagi. Itu berubah konsep, program pemeriksaan surat tugas dan kelengkapannya. Naik lagi, akhirnya ditandatangani beliau [Achsanul] selaku pemberi tugas pemeriksaan PDTT BTS 4G tahun 2022 semester 2,” jelas Priyonggo.
Tiba-tiba Hakim Ketua Fahzal Hendri bertanya mengenai Edward Hutahaean, salah satu orang yang mengaku bisa menghentikan proses penyidikan BTS 4G di Kejagung.
“Saudara pernah ketemu Edward Hutahaean?” kata Fahzal Hendri. “Pernah lihat ya pak,” jawab Priyonggo.
Namun, ketika dicecar oleh hakim, Priyonggo mengaku pernah bertemu Edward. Tapi, ia tidak bisa menjawab ketika ditanya apa tujuan pertemuannya dengan Edward.
“Banyak yang ditutup-tutupi. Saudara keknya gak konsentrasi. Stres keknya bapak, gak sesuai BAP. Kita maunya memberikan keterangan tidak di bawah tekanan. Ini saudara gak sesuai sama BAP,” ucap Fahzal Hendri.
Melihat kondisi Priyonggo yang terus menghindar, majelis hakim meminta jaksa untuk melanjutkan pemeriksaan kepada saksi lain. Meski demikian, beberapa kali Priyonggo ditanya, dirinya tetap kesulitan dan terbata-bata dan harus beberapa kali dicecar jaksa.
Dalam perkara ini, Mantan anggota III Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Achsanul Qosasi, didakwa melakukan korupsi, yakni menerima uang senilai Rp40 miliar untuk mengupayakan hasil pemeriksaan keuangan terhadap pengadaan proyek infrastruktur BTS 4G BAKTI Kominfo.
JPU mendakwa Achsanul Qosasi melanggar Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.