Jakarta, Gatra.com - Majelis hakim mempermasalahkan saksi Anggota BPK, E. Priyonggo Sumbodo, yang bertele-tele saat diperiksa dalam kasus perkara korupsi proyek pengadaan BTS 4G BAKTI Kominfo yang melibatkan terdakwa Mantan anggota III Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Achsanul Qosasi.
Saksi Priyonggo merupakan Wakil Penanggungjawab Tim Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap Kominfo pada tahun 2021. Namun, ketika ditanya oleh Hakim Anggota, Alfis Setyawan, Priyonggo kerap kali tidak memberikan jawaban yang lugas dan jelas.
Hakim bertanya mengenai hasil dari pemeriksaan DPTT yang dilakukan oleh BPK. Pemeriksaan awal akan menghasilkan konsep Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Kemudian, konsep LHP ini akan didiskusikan oleh tim DPTT sebelum akhirnya menjadi LHP yang diserahkan kepada Achsanul dan diteruskan kepada Kominfo. Hakim bertanya mengenai perbedaan substansi konsep LHP dengan LHP.
“Jadi, ada perubahan, ada yang sifatnya redaksional,” jawab Priyonggo Sambodo saat diperiksa sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (14/3).
Hakim pun kembali mempertegas pertanyaannya, yaitu fokus pada perbedaan konkret pada kedua dokumen ini.
“Ini teknis, mungkin nanti tim ya. Saya secara umum ya. Jadi, saya kasih contoh ada perubahan judul,” kata Priyonggo sebelum dipotong hakim.
Majelis hakim kembali mencecar saksi Priyonggo. “Kalau berkaitan dengan isi, apa yang berubah? Substansi temuan apakah itu, kemudian ada diubah yang kemudian di LHP?” cecar Hakim Alfis.
Priyonggo mengaku, secara substansi tidak ada yang berubah dalam dua dokumen ini. Kemudian, Hakim Alfis bertanya mengenai hasil atau output dari LHP yang merupakan rekomendasi dan kesimpulan dari BPK. Namun, Priyonggo kembali menghindari pertanyaan hakim.
“PDTT ini pada pemeriksaan entitas Kominfo?” tanya Priyonggo kepada majelis hakim.
Usai ditegur hakim, Priyonggo mengatakan, kesimpulan yang dihasilkan BPK bersifat kualitatif. “Sampaikan saja apa isinya. Jangan bertele-tele gitu,” cecar Hakim Alfis lagi.
“Tujuan pemeriksaan PDTT ini adalah menilai kepatuhan pengelolaan belanja modal dan belanja barang pada Kementerian Kominfo,” jawab Priyonggo.
Hakim juga mencecar saksi terkait rekomendasi yang diberikan kepada BAKT Kominfo. Priyonggo menyampaikan, rekomendasi yang diberikan BPK adalah terkait perbaikan ke depan, misalnya terhadap proses lelang dan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
“Udah disampaikan tidak rekomendasinya itu [kepada BAKTI]?” tanya Hakim Alfis lagi. "Sudah, Bapak,” jawab Priyonggo.
Ketika ditanya hakim terkait status rekomendasi yang diberikan BPK, Priyonggo mengaku rekomendasi ini tidak dilaksanakan oleh BAKTI meski sudah diterima oleh Anang Achmad Latif yang saat itu menjabat sebagai Dirut BAKTI.
“Rekomendasi tadi kan harusnya ditindaklanjuti, kenapa enggak ditindaklanjuti?” ucap hakim.
Priyonggo mengaku, pihaknya tetap melakukan pemantauan terhadap aktivitas BAKTI. Namun, jawaban ini kembali dicecar hakim.
“Iya, saudara terus pantau, kami paham kalau saudara juga terus lakukan pemantauan. Maka pertanyaannya adalah rekomendasi itu ditindaklanjuti tidak? Saudara jawab, tidak ditindaklanjuti. BAKTI itu berdasarkan hasil pantauan kan. Pertanyaan berikutnya, kenapa tidak ditindaklanjuti? Apa kendalanya? Kenapa enggak ditindaklanjuti rekomendasinya?” kata Hakim Alfis.
Setelah kembali dicecar, Priyonggo hanya mengaku tidak tahu kendala yang dihadapi BAKTI. Namun, hal ini juga dipermasalahkan hakim mengingat Priyonggo mengaku terus memantau BAKTI meski rekomendasi mereka tidak langsung dijalankan.
Priyonggo hanya diam seribu bahasa ketika ditanya kembali mengenai kendala-kendala yang dihadapi BPK maupun BAKTI dalam menjalankan rekomendasi yang sudah diberikan.
Mantan anggota III Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Achsanul Qosasi, didakwa telah melakukan korupsi, yakni menerima uang senilai Rp40 miliar untuk mengupayakan hasil pemeriksaan keuangan terhadap pengadaan proyek infrastruktur BTS 4G BAKTI Kominfo.
Atas tindakannya, Achsanul Qosasi didakwa melanggar Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.