Jakarta, Gatra.com– Heartology menjadi rumah sakit jantung pertama di Indonesia yang melakukan pemasangan Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator (S-ICD) pada pasien Sindrom
Brugada Tanggal 9 Maret 2024 yang lalu. dr Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital menjelaskan profil pasien yang menjalankan tindakan medis itu.
“Belum lama ini seorang laki-laki, usia 46 tahun dirujuk dari Papua untuk dilakukan pemeriksaan jantung di Heartology Hospital. Pasien relatif tanpa
keluhan. Namun dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) ditemukan gambaran gangguan aritmia yang disebut Sindrom Brugada," jelas dr Sunu dalam media discussion di Jakarta, Senin (25/3).
Penderita Sindrom Brugada memiliki cacat pada saluran ini dan menyebabkan jantung mudah berdetak dengan sangat cepat (fibrilasi ventrikel). "Akibatnya, irama jantung terganggu dan bisa berakibat fatal,” imbuh dr Sunu.
Baca juga: Waspadai Gangguan Irama Jantung, Ini Gejala dan Penyakit yang Menyertai
Dengan kemajuan teknologi, pemasangan ICD kini tak perlu langsung di jantung, tetapi di bawah kulit melalui metode Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator (S-ICD). Pemasangan alat kardiak defibrilator implan (ICD) agar mampu menormalkan denyut jantung sehingga terhindar dari risiko fatal.
Nah dengan kemajuan teknologi, saat ini, pemasangan ICD tidak perlu langsung di jantung, namun cukup dipasang di bawah kulit, yang disebut S-ICD atau subcutaneous Implantable Cardioverter
Defibrillator. "Hal ini mampu memberi komplikasi lebih kecil. Yang tidak kalah penting, aktivitas pasien lebih tidak terganggu,” tambah dr. Sunu.
Gejala yang timbul dari sindrom Brugada tidak jauh berbeda dengan gangguan irama jantung lainnya, seperti rasa berdebar, pingsan, kejang sampai meninggal mendadak. Sampai saat ini penyebab
sindrom Brugada belum jelas.
Akan tetapi, faktor genetik dipercaya memberi kontribusi yang penting. Dari hasil interview, didadapatkan bahwa kakak kandung pasien meninggal mendadak pada usia 50an.
Pada pemeriksaan lanjutan, ditemukan bahwa pada pasien ini sangat mudah tercetus fibrilasi ventrikel, sebuah irama jantung supercepat yang mengancam nyawa. Kondisi tersebut menyebabkan jantung dapat berhenti di waktu yang tidak diketahui.
Baca juga:Kenali Kematian Jantung Mendadak Akibat Aritmia
Dengan terpasangnya alat ICD pada seseorang yang berisiko tinggi, saat terjadi denyut jantung supercepat, alat akan secara otomatis menghentikan dengan sebuah energi kejut.
Dengan begitu, orang tersebut terhindar dari risiko yang fatal. Oleh karena itu, berbagai organisasi profesi nasional dan internasional memberikan rekomendasi klas-1 untuk pemasangan ICD pada pasien yang berisiko tinggi terjadi KJM.
Sayangnya, dengan estimasi KJM sebesar >100.000 per tahun di Indonesia, implantasi alat ICD ini belum bisa di-cover dengan pembiayaan BPJS. Selain implantasi ICD, tata laksana lain dari sebuah gangguan irama jantung dapat berupa tindakan kateter ablasi 3 dimensi.
Problemnya adalah bahwa risiko Brugada Syndrome pada orang ras Asia lebih tinggi dibandingkan ras Kaukasia. Namun tindakan ICD standar di Indonesia per tahun hanya sekitar 66 orang atau 1 banding 5 juta. Bandingkan Malaysia yang mencapai seratus lebih dan di Singapura tiga kali lipatnya.
"Karena ICD tidak bisa BPJS, ini enggak boleh seperti ini, karena ini soal nyawa," tegas dr Sunu. Meski memang tindakan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit dengan standar Rp130 juga-150juta. "Sedangkan BPJS hanya (cover-red) Rp50 juta-60 juta. Maka RS mana yang mau, ini harus asuransi dan menjadi tugas asuransi," pungkasnya.