Home Nasional Konflik Laut Cina Selatan, Perang Pengaruh AS-Cina, Kewaspadaan Indonesia

Konflik Laut Cina Selatan, Perang Pengaruh AS-Cina, Kewaspadaan Indonesia

“Perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang. Salah perhitungan akan membawa pada situasi konflik yang akan merugikan bersama”.—Hadi Tjahjanto

 

Jakarta, Gatra.com – Eskalasi ketegangan di Laut Cina Selatan (LCS) terus berlangsung. Tensi itu terlihat dari unjuk kekuatan militer Cina dan Amerika Serikat (AS) di perairan LCS yang berdekatan dengan Kepulauan Natuna, Indonesia. Pihak keamanan atau militer Indonesia kerap direpotkan dengan manuver provokatif Cina di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.

Keluwesan Cina menerobos ZEE Indonesia dilatarbelakangi penolakan Cina mengakui teritorial Indonesia dan negara ASEAN lainnya di LCS sesuai ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982. Padahal, Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2016 sudah menyatakan Tiongkok tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah di perairan LCS.

Peningkatan ketegangan di LCS akibat saling reaksi Cina dan AS beberapa tahun terakhir di kawasan memantik perhatian banyak kalangan. Unjuk kekuatan militer kedua negara besar itu dianggap mengancam keamanan dan kebebasan navigasi di wilayah LCS.

Klaim pemerintah Cina atas sebagian besar wilayah LCS sudah berlangsung lama. Bagi Tiongkok, wilayah tersebut dianggap perimeter pertahanan dan proyeksi kekuatan Cina di masa depan. Bagi AS, wilayah LCS juga menjadi daerah yang penting karena berhubungan dengan “pengaruh” dan kepentingan ekonomi AS di Asia Tenggara.

Teranyar, ketegangan antara Cina dan Filipina telah berkobar dalam beberapa bulan terakhir, ketika kapal dari kedua negara itu bentrok di perairan LCS. Pada 5 Maret 2024, otoritas Filipina memanggil perwakilan diplomatik Cina setelah menuduh kapal-kapal Penjaga Pantai Cina memicu dua tabrakan dengan kapal-kapal Filipina, dan menembakkan meriam air ke salah satu kapal yang menjalankan misi penyaluran pasokan logistik di LCS.

Kapal Penjaga Pantai Cina Mengarahkan Sinar Laser di Kepulauan Malapascua, Filipina (Philipina Cost Guard/Facebook)

Cina dalam pernyataannya menyebut, pihaknya mengambil langkah terukur terhadap penyusupan ilegal kapal-kapal Filipina ke dalam perairan kedaulatannya. Cina balik menuduh kapal Filipina secara sengaja menabrak kapal Beijing. Cina menegaskan akan membela haknya di LCS, dan berupaya menegaskan kedaulatan di wilayah tersebut meski ada klaim tandingan dari negara-negara Asia Tenggara.

Kementerian Luar Negeri Cina menuduh AS memanfaatkan sekutunya, Filipina, sebagai “pion” untuk mengobarkan ketegangan regional setelah Washington menyebut tindakan Beijing itu provokatif. Sementara, Filipina mengklaim kedaulatan di LCS khususnya di bagian timur laut Kepulauan Spratly atau yang disebut Filipina sebagai Kalayaan atau Scarborough Shoal.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto mengatakan, sengketa di LCS masih berlangsung dan belum menemui titik terang. Teranyar, Cina melakukan penghalauan terhadap kapal nelayan yang menangkap ikan di LCS. Langkah tersebut menuai protes keras dari negara Filipina.

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto (Doc. Kemenko Polhukam)

Hadi mengungkap, pihaknya mencatat seringnya terjadi insiden di wilayah LCS di mana jika tidak dikelola dengan baik akan memicu konflik terbuka, yakni insiden saling tabrak antara kapal-kapal Cina dan Filipina. “Penggunaan laser dan water canon ataupun blokade akses nelayan mengancam stabilitas dan perdamaian di LCS,” ujar Hadi dalam diskusi daring “Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut Cina Selatan” pada 19 Maret 2024.

Menurutnya, perdamaian di LCS semakin rumit ketika Cina pada 2023 secara unilateral mengeluarkan peta baru menambahkan satu garis putus-putus menjadi 10 dash line, yang mengklaim seluruh wilayah LCS. “Di beberapa bagian, garis putus-putus tersebut bahkan tumpang tindih dengan wilayah ZEE kita di Laut Natuna Utara. Peta Cina ini mengundang protes keras dari berbagai negara termasuk Indonesia,” kata Hadi.

Padahal, klaim Cina atas LCS sudah ditolak Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) karena tidak memiliki landasan hukum internasional. “Namun, Cina menolak putusan tersebut, RRC berargumen bahwa putusan tidak sah. Melanggar UNCLOS 1982 dan hak berdaulat RRC di LCS,” ia menambahkan.

Menko Polhukam meminta permasalahan LCS disikapi dengan kepala dingin agar tidak menyulut konflik yang merugikan kawasan. “Perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang. Salah perhitungan akan membawa pada situasi konflik yang akan merugikan bersama,” ucap Hadi.

Hadi menyebut, dalam kerangka ASEAN, dialog dan kerja sama diwujudkan melalui upaya penyusunan dokumen Code of Conduct on South China Sea (COC) antara ASEAN dan Cina. “COC ditujukan untuk mengelola tata perilaku negara di LCS guna menghindarkan terjadinya insiden dan sekaligus mengelola insiden, apabila terjadi,” ucap mantan Panglima TNI itu.

Menurutnya, perundingan antara ASEAN dengan Cina melalui forum ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (JWG-DOC) sempat berjalan lambat. Namun, atas inisiatif dan dorongan Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada 2023 lalu, ASEAN dan Cina berhasil menyepakati percepatan perundingan COC.

Hadi menargetkan COC dapat difinalisasi dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu pada 2025. “Kita semua berharap COC dapat menjadi sebuah dokumen yang efektif, substantif, dan actionable untuk menghindari eskalasi dan sekaligus meningkatkan mutual trust dan mutual confidence di antara negara-negara yang berkepentingan di LCS,” tuturnya.

Terkait pengamanan laut Natuna, Hadi menyampaikan pemerintah terus melakukan penguatan. Salah satu upaya yang dilakukan, yaitu memperkuat alutsista TNI.

**

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali menegaskan dirinya akan memantau ketat wilayah perairan LCS atau Laut Natuna Utara agar tidak terjadi pelanggaran hukum di wilayah perbatasan yang menjadi alur perairan ZEE.

Mantan Pangkogabwilhan I itu menyatakan, penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di wilayah perbatasan adalah amanah penting yang disampaikan oleh Presiden Jokowi. “Tidak hanya di Laut Cina Selatan, pokoknya di seluruh perbatasan laut harus ditingkatkan baik penegakan kedaulatan maupun penegakan hukum,” kata Muhammad Ali.

Ia menyampaikan, situasi yang terjadi di Laut Natuna Utara, khususnya di wilayah ZEE, tidak serawan yang dibayangkan atau diberitakan. Situasi panas terjadi di Kepulauan Spratly yang berada di perbatasan negara Cina, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sedangkan, di Laut Natuna Utara insiden yang lebih banyak ditemukan adalah penangkapan ikan ilegal oleh pihak asing. Ali menyebut, sebagian besar penangkap kapal ikan ilegal tersebut berasal dari negara yang berbatasan dengan Indonesia.

KRI Teuku Umar-385 Saat Operasi Siaga Tempur Laut Natuna (ANTARA Foto/M. Risyal Hidayat)

TNI AL menurutnya telah memberikan tindakan tegas terhadap kapal-kapal ikan ilegal asing yang memasuki batas landas kontinen dengan melakukan penangkapan terhadap kapal tersebut. Selanjutnya, kapal dibawa ke Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) seperti Natuna atau Ranai untuk diperiksa.

KSAL menyampaikan kehadiran kapal-kapal asing ilegal yang melakukan penangkapan ikan di wilayah Indonesia selama beberapa waktu belakangan ini turun drastis. Menurutnya, kondisi itu terjadi karena hadirnya Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dan pesawat udara TNI AL yang terus melaksanakan patroli di wilayah perairan Natuna Utara.

Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta mengatakan, Indonesia perlu mengambil sikap terhadap konflik yang “menguap” di LCS. Pemerintah menurutnya perlu meningkatkan keamanan di LCS mengingat wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan LCS. Ia berpandangan Indonesia tidak perlu masuk ke arena konflik Cina-AS mengingat politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Namun peran aktif harus terlihat dalam menjaga masuknya pihak lain ke wilayah kedaulatan Indonesia.

“Fokus kita amankan wilayah Indonesia. Pedoman kita atas wilayah laut adalah keputusan United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB. Termasuk wilayah Indonesia adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yaitu kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar, dalam hal ini Natuna,” ujar Sukamta kepada Gatra.com.

Anggota Komisi I Sukamta (Doc. DPR)

Ia mengingatkan beberapa kali terjadi insiden kapal-kapal nelayan dengan kawalan cost guard Cina masuk ke Laut Natuna Utara yang merupakan wilayah Indonesia. Hal itu menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap wilayah perairan Indonesia sehingga mudah “dijamah” pihak lain.

Politisi PKS itu menyebut, kedaulatan wilayah Indonesia harus jadi prioritas paling utama untuk diamankan. Pemerintah melalui Panglima TNI menurutnya perlu mengerahkan kapal perang dan pesawat pengintai di Laut Natuna Utara untuk mengantisipasi terulangnya kembali pelanggaran oleh kapal-kapal asing ke wilayah Indonesia. “Reaksi yang kuat dari pemerintah akan jadi sinyal bagi Cina dan negara manapun untuk tidak coba-coba secara ilegal masuk wilayah Indonesia,” kata Sukamta.

Sukamta berharap selain menjaga wilayah Indonesia dengan kekuatan TNI, pemerintah juga perlu terus memperkuat diplomasi internasional dan kerja sama khususnya dengan negara-negara ASEAN yang sejauh ini dirugikan oleh klaim sepihak Cina atas LCS.

“ASEAN harus bersatu menolak klaim Cina atas LCS dan perlu ada langkah-langkah efektif untuk melindungi kepentingan ASEAN di wilayah ini. Bersatunya ASEAN tentu akan memberikan tekanan tersendiri kepada Beijing untuk tidak umbar kekuatan dan juga untuk memastikan Cina mau menerima norma-norma internasional dan Putusan Pengadilan Arbitrase tahun 2016 yang telah mementahkan klaim historis atas LCS,” tandasnya.

**

Pusaran konflik hegemoni yang diikuti unjuk kekuatan militer AS-Cina di LCS menunjukkan eskalasi ketegangan yang mengkhawatirkan. Kehadiran kapal tempur kedua negara yang siap baku hantam membuat situasi di LCS dan wilayah ASEAN menjadi “panas-dingin”.

Pengamat pertahanan Muhammad Haripin mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya mewaspadai meningkatnya ketegangan di LCS. “Terkait LCS, pemerintah Indonesia perlu mewaspadai potensi ketegangan di wilayah tersebut sejak dini. Kebijakan yang reaktif seperti pengerahan kekuatan secara tinggi namun dalam jangka waktu pendek cenderung tidak efektif dan berbiaya tinggi,” ujar Haripin kepada Gatra.com.

Peneliti BRIN Muhammad Haripin (GATRA/ M. Almer)

Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu menyebut, Indonesia dapat memainkan peranan dalam kerangka kerja sama multilateral seperti ASEAN Maritime Forum serta Extended Maritime Forum, ASEAN Regional Forum dan East Asia Summit, di mana AS dan Cina berada di dalamnya.

“Karena itu, pendekatan diplomasi mesti tetap diutamakan melalui saluran-saluran komunikasi di berbagai forum multilateral misalnya ASEAN,” ungkapnya. Secara geopolitik, Indonesia menurutnya berkesempatan menanamkan pengaruh di kawasan ASEAN. Pusaran konflik AS-Cina seharusnya membawa inisiatif bagi Indonesia dan negara ASEAN lainnya untuk bersatu memperkokoh stabilitas kawasan.

Terkait klaim Cina, menurut Haripin, Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat, yakni keputusan UNCLOS. Merujuk konvensi UNCLOS 1982, termasuk wilayah Indonesia adalah ZEE yang didefinisikan sebagai negara terbentang sejauh 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Wilayah tersebut termasuk Laut Natuna Utara.

“Yang bagian [wilayah] Indonesia itu yang dinamai Laut Natuna Utara. Jadi, tumpang tindih antara klaim nine-dashed-line RRT dgn ZEE Indonesia. Posisi Indonesia sendiri kuat karena berdasarkan konvensi UNCLOS,” ujar penulis buku “Civil-Military Relations in Indonesia: The Politics of Military Operations Other Than War” itu.

Terkait konflik LCS, banyak pengamat dan analisis berpendapat pengamanan di wilayah ZEE penting diperhatikan pemerintah Indonesia. Kemampuan mempertahankan kedaulatan di wilayah Laut Natuna Utara dapat dilakukan TNI dengan melaksanakan pendeteksian, pengamatan, pengintaian dan pengamanan terhadap seluruh wilayah udara dan perairan nasional.

Haripin menerangkan, sejauh ini belum terdapat kesamaan persepsi terhadap pola pengamanan di LCS. Komando yang spesifik akan membuat TNI bersigap melakukan operasi di wilayah tersebut. “Tergantung apakah satu suara terkait pengerahan kekuatan itu. Pengalaman yang lalu-lalu kan pemerintah ini membingungkan,” katanya.

Menurutnya, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan yang tepat serta ketegasan untuk menyelesaikan sengkarut konflik di LCS. “Masalahnya chain of command tidak kuat atau tidak terpadu di level kepemimpinan nasional,” pungkasnya.

Sementara itu, pengamat militer Wibisono mengatakan, Cina akan terus memainkan proxy war dan strateginya dalam menguasai LCS yang dekat dengan Natuna. “Kalau kita lihat sejarahnya Laut Cina Selatan dianggap tempat memancingnya nenek moyang (leluhur) bangsa Cina. Dan mereka kalau sudah mengklaim tidak akan melepas wilayah tersebut ke negara lain,” ujar Wibisono kepada Gatra.com.

Dirinya berpandangan, Indonesia tidak usah “kecut” dengan klaim sepihak tersebut karena sudah ada putusan Mahkamah Arbitrase PBB. Ia mengatakan upaya masuknya Cina ke wilayah perairan LCS dengan sumberdaya militernya menunjukkan proxy war yang dimainkan Tiongkok terhadap negara-negara Asia Tenggara dan juga Amerika.

Menurutnya, LCS akan menjadi arena pertempuran wilayah untuk kepentingan dagang, militer dan pertahanan. “Perang proxy war antara Cina dan AS akan berlanjut terus sampai kapanpun. Inilah bentuk Perang Dunia-3 yang akan terjadi di depan mata,” ujarnya.

Wibisono berpandangan, politik Indonesia yang bebas aktif bukan berarti pemerintah Indonesia tidak ikut ambil bagian dalam konflik LCS. Indonesia dapat berperan aktif menurunkan ketegangan bahkan menjadi juru damai dalam sengketa LCS.

Dalam geopolitik dan geostrategi, Indonesia menurutnya juga harus hati-hati dengan politik kebijakan Cina. “Apalagi nama LCS telah dirubah dengan nama Laut Natuna Utara. Pihak Cina tidak bisa mengklaim itu wilayahnya. Namun, apa daya pemerintah Indonesia sudah tersandera dengan menandatangi MoU 23 proyek OBOR di Beijing pada April 2019 lalu. Jelas kita sudah enggak berkutik,” ucapnya.

603