Jakarta, Gatra.com - Pengamat Pertahanan dan Pangan Dina Hidayana menekankan pentingnya Pemerintah fokus pada prioritas kebijakan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Terlebih, saat ini dunia sedang menghadapi multikrisis baik di sektor ekonomi, pangan maupun energi.
Dina Hidayana melihat trend fenomena dampak pandemi Covid-19 dan perubahan iklim ekstrim; menguatnya bipolar, pertarungan aliansi blok barat dan blok timur yang diawali dengan konflik Rusia-Ukraina; serta berbagai kondisi dan peristiwa di tingkat global dan regional mempengaruhi dinamika domestik secara langsung dan tidak langsung.
“Terganggunya pasokan bahan baku pangan dan pertanian, sumber energi serta kegoncangan ekonomi merupakan contoh siklus pasok yang saling berkelindan dan cenderung diskriminatif akibat dominasi negara atau blok tertentu. Karenanya, kita perlu tindakan antisipatif progresif dalam merubah tantangan menjadi peluang,” terang Dina.
Mengingat ketergantungan akan pangan dan energi pada negara lain akan melemahkan negara tersebut, Dina menegaskan Indonesia sejatinya harus bisa membalikkan situasi sulit dunia saat ini. Penelitian yang dilakukan Dina Hidayana secara mix methods, menunjukkan bahwa Padi dan Sawit adalah dua komoditas unggulan yang bersifat strategis bagi pertahanan dan perdagangan serta mampu mendongkrak perekonomian nasional.
“Padi dan Sawit adalah dua komoditi yang multifungsi, mengatasi problem pangan, energi dan ekonomi sekaligus,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dina mengatakan bahwa membangun industri pertanian skala luas dengan komoditas utama Padi dan Sawit, bukan saja akan mengatasi persoalan kelangkaan pangan dan importasi bahan pokok yang kian meresahkan namun sekaligus memasifkan produksi biofuel berupa energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan adaptasi terhadap menipisnya energi fosil.
Dina Hidayana mengaku optimis bahwa sawit Indonesia mampu menggeser dominasi minyak sun flower di pasaran internasional, khususnya untuk penetrasi pasar Asia dan Afrika yang berpenduduk besar dan konsumtif mengingat harga yang bersaing dan variasi produk turunan yang prospektif.
“Propaganda Sawit Indonesia yang dianggap tidak ramah lingkungan harus mampu diatasi melalui soft and smart diplomacy, sebagaimana fakta bahwa justru minyak sun flower yang lebih rakus hara dan area,” jelasnya.
Sementara optimasi komoditas padi, jelas DIna, merupakan kewajiban menjaga nilai-nilai luhur budaya tani yang menjadi ciri khas dan jati diri Indonesia. Berdasar simulasi proyeksi menggunakan metode Computable General Equilibrium (CGE) yang telah dilakukan olehnya, Indonesia masih akan menjadi konsumen beras yang cukup besar setidaknya sampai tahun 2045.
“Selain itu, banyaknya negara yang menjadi konsumen beras dan terus bergantung pada importasi akibat keterbatasan lahan dan SDM agroindustri mereka merupakan potensi besar bagi Indonesia untuk bergerak dari negara importir beras menjadi produsen pangan pokok mayoritas bangsa di dunia,” terang Dina.