Home Nasional Ketua KPU akan Disidang Etik Lagi, JPPR: Hukuman Idealnya Pemberhentian Jabatan

Ketua KPU akan Disidang Etik Lagi, JPPR: Hukuman Idealnya Pemberhentian Jabatan

Jakarta, Gatra.com – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari, kini menjadi sorotan lagi. Ia diduga melanggar etik akibat dugaan tindakan asusila terhadap salah seorang anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN).

Hasyim pernah terkena kasus serupa pada 2023 lalu. Ia menjalin hubungan personal dengan seorang perempuan berjuluk “Wanita Emas”, yakni Hasnaeni Moein, yang merupakan Ketum Partai Republik Satu. Kala itu, Hasyim disidang oleh DKPP dan dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir.

Bagi Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, hukuman yang ideal bagi Hasyim adalah pemberhentian jabatan sebagai Ketua KPU. Hal itu karena bukan kali ini saja Hasyim mendapatkan sanksi peringatan keras terakhir.

“Hukuman yang paling ideal adalah memberhentikan jabatan. Ini dikarenakan sudah dua kali peringatan keras sehingga jangan sampai kondisi ini terulang kembali. PPLN yang mempunyai hubungan khusus barangkali mengalami perilaku yang dilarang oleh UU sehingga perlu diantisipasi agar tidak terulang ke pihak lain,” kata Mita kepada Gatra.com, Kamis (9/5).

Di samping itu, dengan mencuatnya dugaan kasus ini dan sidang di DKPP yang akan berlangsung pada akhir Mei nanti, Mita menilai bahwa lagi-lagi marwah lembaga penyelenggara pemilu tercoreng.

“Sangat mencoreng marwah kelembagaan penyelenggara pemilu. Apalagi yang bersangkutan mengemban amanah sebagai ketua sehingga perlu untuk dipertimbangkan meninjau posisinya,” kata Mita.

Mita mengatakan bahwa secara etika penyelenggara pemilu seharusnya mewujudkan sifat mandiri seperti yang diamanatkan Pasal 22E Ayat 5 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Menurutnya, sifat mandiri atau imparsialitas ini bukan hanya wajib dilakukan, tetapi juga diperlihatkan ke publik. 

“Banyaknya kasus pelanggaran kode etik penyelenggara ini membuktikan satu indikasi tidak komitmennya penyelenggara dalam menjaga imparsialitas,” katanya.

Mita mengatakan bahwa faktor yang mendorong tercorengnya marwah penyelenggara pemilu bisa saja terjadi akibat tersumbatnya mitigasi terhadap integritas penyelenggara, seperti lemahnya pembinaan perilaku (terhadap integritas) dan supervisi (terhadap profesionalitas).

Mita menyebut sebetulnya hal ini merupakan ranah dari jajaran penyelenggara di tingkat atas KPU, seperti Bawaslu atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). 

“Ini harus menjadi catatan penting, sebab DKPP dalam menjalankan fungsinya bersifat pasif. Maka pembinaan tersebut sudah selayaknya menjadi tanggung jawab atau dikembalikan pada masing-masing internal penyelenggara,” katanya.

Mita juga menilai bahwa sering kali putusan atau sanksi DKPP tidak menimbulkan efek jera kepada penyelenggara pemilu yang bermasalah, dan cenderung menciptakan preseden putusan yang mandul.

“Ini menandakan DKPP hanya memberikan sanksi yang diduga bertujuan secara politis untuk meredam gejolak publik saja, bukan dalam rangka menegakkan keadilan pemilu dan mewujudkan amanat konstitusi yang sebenar-benarnya,” kata Mita.

DKPP sendiri sudah menjadwalkan sidang etik Hasyim. Sidang tersebut direncanakan akan dilangsungkan pada akhir Mei 2024 ini. Ketua DKPP, Heddy Lugito, mengatakan bahwa sidang ini akan diprioritaskan karena relatif menyita perhatian publik.

“Karena ini perkara yang lumayan menjadi perhatian publik dan juga dengan pertimbangkan agar pengadu itu mendapat kepastian hukum, karena itu DKPP mengambil langkah dengan tidak melakukan (memeriksa) perkara lain,” kata Heddy dilansir Antara, di Jakarta, Rabu (8/5).

Belum penjelasan dari Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari, terkait masalah ini.

187