Home Politik Denny Indrayana: Pilkada Kita Akan Dibajak Dinasti dan Duitokrasi

Denny Indrayana: Pilkada Kita Akan Dibajak Dinasti dan Duitokrasi

Solo, Gatra.com - Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 14 Februari 2024 lalu dipastikan akan berdampak terhadap Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang. Khususnya terkait persoalan-persoalan yang dihadapi saat Pemilu yang lalu.

Hal ini disampaikan oleh pakar hukum tata negara Denny Indrayana usai acara "High Tea and Talkshow Road to Kongres Advokat Indonesia (KAI)" bertema "Refleksi Demokrasi: Review Catatan Pemilu dan Pilkada 2024" di The Sunan Hotel, Solo, Jumat (24/5).

Denny melihat pileg dan pilpres akan memiliki dampak besar ke pilkada. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di sidang sengketa pilpres memang tidak menyebutkan hal itu. Namun ia menggarisbawahi adanya pandangan berbeda dari tiga hakim MK.

”Saya berpandangan, yang lebih tepat memotret dissenting opinion-nya. Di sini tergambar praktik pemilu kita koruptif dan pasti ada imbasnya ke pilkada. Saya tidak yakin pilkada kita baik-baik saja,” katanya.

Menurutnya, politik dinasti dan politik uang telah terjadi di sejumlah daerah sejak dulu. Pola praktik tersebut bahkan makin kuat. ”Pilkada kita dibajak dinasti dan duitokrasi dalam uang,” kata caleg 2024 dari Partai Demokrat ini.

Denny menjelaskan, banyak pihak berharap pemilu di Indonesia menjalankan fungsinya dalam menegakkan demokrasi. Namun saat ini hubungan antara pemodal dan penguasa justru menguat. Hal ini menjadikan pemilu bukan lagi pesta rakyat, melainkan pesta oligarki.

Menurutnya, oligarki embangun bisnisnya melalui jalur lembaga negara, kepala negara, dan DPRD hingga tingkat DPR RI. "Jadi tanpa ada perubahan radikal, pemilu kita merupakan legitimasi dari praktik korupsi,” ujarnya.

Bahkan, menurut Denny, sulit untuk membuat perubahan. Jika ingin memulai perubahan dari pemilihan pemimpin, maka masyarakat harus memilih pemimpin yang baik.

Namun saat ini yang terjadi justru pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang problematik dan dipilih dari praktik koruptif.

”Masyarakat harus sadar bahwa suara mereka jangan mau disalahgunakan atau dibeli untuk memilih pemimpin yang tujuannya duduk di kekuasaan dengan membeli suara rakyat. Jadi berharap ada pemimpin yang memikirkan kepentingan publik itu utoptis, ketika dia duduknya di jabatan dengan membeli suara kita,” katanya.

Di samping melakukan perbaikan sistem pemilu dan hukum, menurut Denny, pemilih juga harus sadar menitipkan suaranya ke kepala daerah, presiden dan parlemen, haruslah memilih dengan tepat.

”Kalau kita mau dibeli suaranya, ya berarti memilih calon-calon koruptor, karena mereka akan mengembalikan suaranya dengan cara-cara korupsi. Ibarat kanker, ini sudah stadium 4, sudah mau meninggal. Kalau tidak ada langkah-langkah pasti, enggak akan ada harapan,”ujarnya.

Ketua Komisi Kejaksaan RI Pujiyono Suwadi menambahkan, pada Pemilu 2024, adu gagasan belum dijadikan alasan utama dalam menentukan pilihan. Menurutnya, fenomena yang terjadi adalah pemilutainment, di mana sosok yang menjadi sorotan dan menarik perhatian akan banyak dipilih.

”Saya tidak mengatakan kurang (adu gagasan), tapi praktiknya adu gagasan ini tidak menjadi prioritas. Jadi namanya pemilutainment ini sebisa mungkin memunculkan profil diri dan menampilkan citra diri untuk memenuhi ekspektasi publik. Trennya sekarang apa, itu yang dicari,” katanya.

Menurutnya, gagasan harus dikemas dengan berbagai bumbu. Sebab, sepenting apapun gagasan tapi ketika tidak dikemas dengan baik, hasilnya tidak akan maksimal.

Puji melihat, praktik demokrasi Amerika Serikat yang kerap dianggap kiblat demokrasi juga tidak terlalu bersih. Menurutnya, banyak presiden Amerika Serikat bermasalah dalam proses pemilihan.

”Kita tidak membutuhkan perubahan–perubahan yang revolusioner. Menurut saya, kita track-nya sudah benar. Yang kurang kita evaluasi sedikit demi sedikit, sebentar demi sebentar, sehingga menjadi sesuatu yang ideal,” katanya.

Mengutip temuan beberapa lembaga survei, Puji bilang, indeks demokrasi Indonesia turun. Namun, menurutnya, bukan berarti demokrasi kita tidak di jalur yang tepat. Untuk itu, perlu ada beberapa hal yang menjadi catatan.

”Misalnya soal independensi pers, keterlibatan politik uang, dan catatan-catatan yang harus kita perbaiki dan selesaikan. Masalahnya, kita menyelesaikannya sepotong demi sepotong. Kalau mau menyelesaikan, ya harus dari hulu sampai hilir,” katanya.

”Masalahnya adalah kultur politik masyarakat kita itu absortif terhadap politik uang. Jadi apa yang harus dilakukan? Penegakan hukum!" tandasnya.

Ia juga menyinggung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pengawas pemilu yang tidak bisa menjawab persoalan-persoalan dalam pemilu. Apalagi Bawaslu secara institusional tidak kuat dan tidak tersentral seperti KPK.

”Ke depannya kalau mau serius, kita ingin melakukan perubahan, ya harus dilakukan, termasuk untuk pemilihan orang-orang di dalamnya (Bawaslu),” katanya.

106