Home Kesehatan Cegah Intensitas Kekambuhan, PDPI Serukan Pengobatan Holistik

Cegah Intensitas Kekambuhan, PDPI Serukan Pengobatan Holistik

Jakarta, Gatra.com- Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof dr Faisal Yunus Ph D, Sp P (K) menyuarakan pentingnya pengobatan asma secara holistik. Ia menjelaskan, asma merupakan inflamasi kronik, sehingga tidak bisa dihilangkan total, namun dapat dikontrol. Seiring bertambahnya usia, umumnya tingkat kekambuhan asma menjadi berkurang.

“Itulah sebabnya anak-anak yang terkena asma ketika kecil, begitu menginjak Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) mulai berkurang. Tapi inflamasi itu tetap ada. Begitu dewasa bisa saja muncul kembali karena berbagai faktor, antara lain asap rokok, polusi udara, stress dan sebagainya yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun,” kata Faisal dalam keterangannya kepada GATRA, Sabtu (26/5).

Faisal merinci, pengobatan asma ada dua macam, yaitu pengobatan asma untuk mengatasi inflamasi (disebut dengan anti inflamasi) dan pengobatan asma untuk melegakan asma, yakni obat untuk menghilangkan gejala asma agar gejalanya membaik. Peruntukannya pun berbeda, obat inflamasi tidak dapat menghilangkan gejala asma karena hanya mengatasi inflamasi, sedangkan obat pelega juga tidak dapat menghilangkan inflamasi karena fungsinya hanya untuk mengatasi gejala asma.

Baca juga: Masuki Masa Endemi, PDPI Jakarta Gelar Pertemuan Ilmiah Respirasi 2023

“Pasien asma seharusnya memakai kedua obat ini secara holistik. Obat anti inflamasi dipakai rutin setiap hari agar inflamasinya benar-benar berkurang, sehingga kemudian dapat dilepas atau dikurangi pemakaiannya. Sedangkan obat pelega dipakai bila timbul gejala saja,” papar Faisal.

Pemakaian kedua jenis obat ini sebaiknya dilakukan secara inhalasi (dihirup). Setidaknya ada tiga keuntungan yang bisa didapatkan dengan metode inhalasi ini. Pertama, kerjanya cepat, dimana sekitar dua hingga tiga menit setelah disemprotkan obat tersebut mulai bekerja. Sementara, bila obat minum, efeknya baru terasa setelah 10 hingga 30 menit pasca dikonsumsi.

Kedua, terkait dosis. Obat yang diminum umumnya dosisnya tinggi karena harus melewati lambung, pembuluh darah dan sebagainya. Satu tablet obat minum setara 2 miligram. Sedangkan dosis obat
inhalasi umumnya kecil sekali, setara dengan 100 mikrogram obat minum. “Artinya kalau kita menyemprot obat inhalasi sebanyak 20 kali sama dengan satu tablet obat minum. Dosisnya kecil sekali, maka efek sampingnya juga kecil,” ujar Faisal.

Keuntungan lainnya menggunakan obat inhalasi yakni efeknya langsung ke organ tubuh yang bermasalah, dalam hal ini saluran pernapasan. Berbeda halnya dengan obat yang diminum, karena proses penyerapannya melalui berbagai organ tubuh sehingga berisiko menimbulkan efek samping.

​​​​​​Baca juga: Polusi Udara Ancam Asma Kambuh, Peran Puskesmas Perlu Ditingkatkan

“Makanya kami menganjurkan untuk pakai obat inhalasi, untuk obat pengontrol ataupun obat pelega. Karena kerjanya cepat, lokal (di saluran pernapasan saja), dosisnya kecil dan efek sampingnya minimal,” papar Faisal.

PDPI menyarankan pemerintah untuk menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat khususnya penderita asma untuk menggunakan obat inhalasi secara rutin agar penyakit asmanya membaik.

Selama ini, menurut Faisal, pemerintah lebih banyak mensosialisasikan penggunaan obat minum untuk mengatasi asma. Padahal penggunaan obat minum dosisnya lebih besar, efek sampingnya
lebih banyak serta cara kerjanya relatif lambat.

Faisal menengarai, kondisi penderita asma tidak kunjung membaik karena mereka hanya mengkonsumsi obat pelega saja, sehingga gejalanya hilang namun penyakitnya tetap tak membaik. Padahal, seharusnya penderita asma mengkonsumsi keduanya, baik obat pelega maupun obat anti inflamasi.

“Kalau lagi sesak penderita asma minum obat pelega, kemudian hilang sesaknya. Dia pikir asmanya sudah membaik, ternyata minggu depan atau bulan depannya sesak lagi. Inilah, karena inflamasinya tidak diatasi. Padahal kan pengobatan inflamasinya untuk jangka panjang supaya asmanya berkurang. Ini yang jarang disosialisasikan di apotek,” ucapnya.

Sebagai informasi, studi SABINA (SABA use in Asthma) merilis hasil penelitiannya dimana upaya penelitian global ini menyoroti hal mendesak bagi negara-negara untuk mengevaluasi ulang strategi
pengobatan asma. Adapun, tujuan utama studi SABINA adalah untuk menilai pola resep SABA secara global, dengan peneliti dari Indonesia memainkan peran penting.

​​​​​​Baca juga: Konsensus Skrining Kanker Paru Indonesia Resmi Diluncurkan

Sejalan dengan rekomendasi studi SABINA, Pedoman Global untuk Asma (GINA) menganjurkan terapi pemeliharaan asma yang konsisten.Keselarasan ini menegaskan perlunya Indonesia untuk memodifikasi praktik pengobatan asmanya.

Gambaran studi SABINA memberikan arahan untuk meningkatkan protokol pengelolaan asma nasional di Indonesia. Juga menyerukan perubahan dalam kebiasaan resep dan fokus pada pendidikan dan kesadaran pasien. Kesesuaian dengan praktik terbaik global dapat secara signifikan meningkatkan kontrol asma di Indonesia.

Studi SABINA memberikan Indonesia kesempatan untuk mengevaluasi kembali dan meningkatkan strategi perawatan asma negara. Saat Indonesia bergerak menuju pengelolaan asma yang lebih efektif dan berpusat pada pasien, wawasan dari studi ini sangat berharga dalam membentuk hasil yang lebih baik bagi pasien asma Indonesia.

15