Home Kesehatan PDPI: Pemerintah Perlu Tingkatkan Edukasi Terkait Asma

PDPI: Pemerintah Perlu Tingkatkan Edukasi Terkait Asma

Jakarta, Gatra.com- Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof dr Faisal Yunus Ph D, Sp P (K) mengatakan, dalam rangka penanganan penyakit asma secara holistik, PDPI berharap agar pemerintah memberikan edukasi kepada masyarakat secara kontinu mengenai cara menggunakan obat yang benar. “Bahwa obat yang baik itu adalah yang dikonsumsi secara hirup (inhalasi),” ucap Faisal dalam keterangannya kepada GATRA, Sabtu (26/5).

Faisal menjelaskan, setidaknya ada tiga keuntungan yang bisa didapatkan dengan metode inhalasi ini. Pertama, kerjanya cepat, dimana sekitar dua hingga tiga menit setelah disemprotkan obat tersebut mulai bekerja. Sementara, bila obat minum, efeknya baru terasa setelah 10 hingga 30 menitnpasca dikonsumsi.

Kedua, terkait dosis. Obat yang diminum umumnya dosisnya tinggi karena harus melewati lambung, pembuluh darah dan sebagainya. Satu tablet obat minum setara 2 miligram. Sedangkan dosis obat inhalasi umumnya kecil sekali, setara dengan 100 mikrogram obat minum. “Artinya kalau kita menyemprot obat inhalasi sebanyak 20 kali sama dengan satu tablet obat minum. Dosisnya kecil sekali, maka efek sampingnya juga kecil,” kata Faisal.

​​​​​​Baca juga: Masuki Masa Endemi, PDPI Jakarta Gelar Pertemuan Ilmiah Respirasi 2023

Keuntungan lainnya menggunakan obat inhalasi yakni efeknya langsung ke organ tubuh yang bermasalah, dalam hal ini saluran pernapasan. Berbeda halnya dengan obat yang diminum, karena proses penyerapannya melalui berbagai organ tubuh sehingga berisiko menimbulkan efek samping.

Selain itu, lanjut Faisal, pemerintah juga perlu untuk memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa penyembuhan asma tidak hanya dengan obat pelega namun terutama obat inflamasi. Terakhir, menyediakan obat asma secara lengkap, baik obat inflamasi maupun obat pelega di setiap fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I. Jangan sampai ada pemikiran bahwa karena pasien asma tidak banyak maka penyediaan stok obat asma di faskes-faskes tingkat I tidak terlalu diperhatikan.

“Padahal, penderita asma di Indonesia cukup banyak. Prevalensinya 5 persen. Artinya, setiap 20 orang penduduk, ada satu orang penderita asma. Tiap 100 orang penduduk ada lima orang yang menderita asma. Di Jakarta bahkan prevalensinya mencapai 10 persen karena polusi udara di Jakarta cukup tinggi dan juga tingkat stress penduduknya juga tinggi,” tukasnya.

Baca juga: Konsensus Skrining Kanker Paru Indonesia Resmi Diluncurkan

Sebagai informasi, studi SABINA (SABA use in Asthma) merilis hasil penelitiannya dimana upaya penelitian global ini menyoroti hal mendesak bagi negara-negara untuk mengevaluasi ulang strategi pengobatan asma. Adapun, tujuan utama studi SABINA adalah untuk menilai pola resep SABA secara global, dengan peneliti dari Indonesia memainkan peran penting.

Sejalan dengan rekomendasi studi SABINA, Pedoman Global untuk Asma (GINA) menganjurkan terapi pemeliharaan asma yang konsisten. Keselarasan ini menegaskan perlunya Indonesia untuk memodifikasi praktik pengobatan asmanya. Gambaran studi SABINA memberikan arahan untuk meningkatkan protokol pengelolaan asma
nasional di Indonesia.

Baca juga: Polusi Udara Ancam Asma Kambuh, Peran Puskesmas Perlu Ditingkatkan

Juga menyerukan perubahan dalam kebiasaan resep dan fokus pada pendidikan dan kesadaran pasien. Kesesuaian dengan praktik terbaik global dapat secara signifikan meningkatkan kontrol asma di Indonesia.

Studi SABINA memberikan Indonesia kesempatan untuk mengevaluasi kembali dan meningkatkan strategi perawatan asma negara. Saat Indonesia bergerak menuju pengelolaan asma yang lebih efektif dan berpusat pada pasien, wawasan dari studi ini sangat berharga dalam membentuk hasil yang lebih baik bagi pasien asma Indonesia.

15