Home Ekonomi Potensi Gerus Pendapatan, Pekerja Media dan Insutri Kreatif Tolak Aturan RPP Kesehatan

Potensi Gerus Pendapatan, Pekerja Media dan Insutri Kreatif Tolak Aturan RPP Kesehatan

Jakarta, Gatra.com - Pekerja media dan industri kreatif menyatakan penolakan atas atas pasal-pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana Undang- Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Gilang Iskandar menuturkan, sejumlah aturan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau yang dimunculkan dalam RPP tersebut akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan industri periklanan dan kreatif di tanah air, khususnya media pertelevisian. Pasalnya, iklan rokok telah menjadi kontributor utama pendapatan iklan media.

Berdasarkan data Nielsen, iklan rokok termasuk dalam 10 besar kontributor pendapatan iklan media di Indonesia dengan nilai mencapai Rp4,5 triliun. Angka ini hanya mewakili paruh pertama tahun 2021. Secara keseluruhan, iklan rokok menyumbangkan pundi-pundi hingga Rp 9,1 triliun terhadap pendapatan iklan media sepanjang 2021.

Sementara itu, dari 16 subsektor ekonomi kreatif, setidaknya terdapat enam subsektor yang terkait dengan industri tembakau dari aspek periklanan hingga pembuatan materi kreatif. Adapun secara kolektif, enam subsektor ini menjadi lapangan pekerjaan bagi 725.000 jiwa di Indonesia.

“Perlu dipahami bahwa iklan juga akan menentukan kualitas konten dari media penyiaran. Maka, dampak kerugian yang akan ditimbulkan dengan hilangnya Rp9,1 triliun ini tidak hanya berhenti pada kerugian media penyiaran namun juga mempengaruhi kualitas siaran hingga kemampuan media memperkerjakan para karyawannya,” kata Gilang dalam Konferensi Pers di Jakarta, Selasa (28/5).

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Media Luar-griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi juga ikut menyesalkan hadirnya pengaturan media luar ruang untuk iklan produk tembakau yang mengharuskan jarak 500 meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

Menurutnya, hal ini sangat sulit untuk dilaksanakan karena tidak adanya detil terkait penentuan jarak. Dia khawatir aturan terkait jarak ini akan menimbulkan multitafsir di lapangan sekaligus menjadi PR (pekerjaan rumah) baru bagi pemerintah.

Belum lagi, lebih lanjut sebanyak 44% anggota AMLI di seluruh Indonesia terancam gulung tikar dengan adanya aturan pelarangan iklan produk tembakau di RPP Kesehatan maupun RUU Penyiaran. Mirisnya, mayoritas dari persentase tersebut merupakan pengusaha kecil dengan skala bisnis menengah ke bawah.

“Pemerintah harus memahami bahwa investasi yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan media luar ruang turut meliputi pembangunan infrastruktur dengan nilai yang tidak kecil serta memperkerjakan karyawan dengan jumlah yang tidak sedikit pula,” papar dia.

Sementara itu, Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI) M Rafiq pun menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan industri periklanan maupun industri kreatif sebagai pemangku kepentingan utama yang terdampak dalam merancang aturan dan pasal-pasal yang identik dengan pelarangan tersebut.

Dengan mempertimbangkan besarnya dampak yang berpotensi muncul pada beleid tersebut, Rafiq bersama para anggota konsorsium DPI menuangkan permohonan dan masukannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meninjau ulang pasal-pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di RPP Kesehatan.

Lebih dari itu, ia juga meminta agar regulasi tersebut tidak disahkan tanpa adanya pelibatan DPI sebagai perwakilan dari industri periklanan dan kreatif.

“Kami sudah bersurat kepada pemerintah, sebagai inisiator regulasi, namun tidak mendapatkan respons apa pun hingga saat ini,” ujar dia.

 

57