Home Sumbagteng Binis Renyah di 'Tanah Haram'

Binis Renyah di 'Tanah Haram'

Pekanbaru, Gatra.com - Saimin. Lelaki 50 tahun ini sudah tak mau tahu lagi dengan pungutan-pungutan yang selama ini dia ladeni. Modus pungutan itu hanya satu; pengurusan lahan.

"Saya sudah enggak mau ngasi lagi. Biar sajalah. Boro-boro mau ngasi, untuk makan saja sudah susah," datar suara kakek 3 cucu ini saat berbincang bersama Gatra.com di saung samping rumahnya di kawasan Dusun VII Desa Simpang Kota Medan, Kecamatan Kelayang, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, Sabtu pekan lalu.

Sudah sejak 13 tahun lalu lelaki asal Aek Sirara, Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut) ini tinggal di rumah papan dekat saung tadi.

Rumah itu belakangan diapit oleh dua rumah papan yang kini menjadi tempat tinggal dua orang anaknya. "Enggak ada lagi tempat kami selain di sini," ujarnya.

Istri Saimin, Rusmawati, yang kebetulan sedang mengetek brondolan sawit di depan saung itu, sesekali menimpali. Selain berladang, Saimin juga menampung buah sawit.

Tak pernah terbayangkan oleh Saimin kalau kemudian, dia dan keluarganya akan terjebak dalam situasi sekarang.

Dibilang terjebak lantaran ternyata, lahan 6 hektar yang dibeli orangtuanya dari warga tempatan itu, rupanya konsesi perusahaan. Itu ketahuan tiga tahun setelah lahan yang dulu masih belukar tadi, dibeli.

Salah satu surat Sporadik yang diteken oleh Kepala Desa Simpang Kota Medan, Baharudin. Foto: (GATRA/Aziz) 

"Waktu itu kami beli Rp5 juta per hektar. Lalu, diminta pula untuk biaya pengurusan surat, Rp5 juta per pancang (satu pancang dua hektar). Lantaran biaya suratnya kemahalan, enggak jadi. Alfian Rambe yang mengurus pembelian itu. Sekarang yang bersangkutan sudah entah dimana," ujarnya.

Lantaran telah bermasalah dengan perusahaan, Saimin mau saja diajak oleh oknum untuk ikut dalam pengurusan agar lahannya aman. Berbagai iuran dia jabani untuk dibayar. Tak terkecuali mengurus surat lahan itu.

"Dua tahun lalu saya disuruh ikut bikin surat tanah. Namanya Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik). Semula harga pengurusan surat itu Rp1 juta per hektar. Tapi kemudian menjadi Rp2 juta. Baru Rp8 juta saya bayar," terang Saimin.

Lelaki ini kemudian menyebut bahwa oknum berinisial RWP lah yang bertugas mengurusi surat Sporadik itu. "Duitnya saya serahkan sama dia," katanya.

Apes, punya surat tanah ternyata tidak serta merta membikin lahan yang kini ditumbuhi kelapa sawit itu aman.

Sebab belakangan, security perusahaan telah mendatangi Saimin. Lelaki ini diminta untuk meninggalkan areal konsesi yang merupakan kawasan hutan negara itu.

Sadinu juga mengalami apa yang dirasakan oleh Saimin. Lelaki 84 tahun ini telah juga menyetor duit pengurusan Sporadik kepada oknum yang sama.

"Saya membayar Rp2,5 juta per surat. Semuanya 5 surat," cerita warga Jalur 4 Desa Sei Beras-beras ini kepada Gatra.com di hari yang sama.

Sadinu mengaku kalau lahan 10 hektar milik keluarganya itu dibeli dari bekas Kepala Desa Simpang Kota Medan, beberapa tahun silam. "Waktu itu lahannya masih hutan meski ada beberapa pohon karet," kenangnya.

Cerita Heri lebih ngenes lagi. Keluarganya justru membayar Sporadik itu Rp4 juta per surat. "Tapi lahan tetap saja tidak aman," suara lelaki ini terdengar jengkel.

Dari penelusuran Gatra.com tentang Sporadik tadi, setidaknya sudah lebih dari 300 surat Sporadik telah beredar ke tangan masyarakat yang lahannya berada di konsesi perusahaan.

Ini kelihatan dari surat Sporadik yang didapat oleh Gatra.com bernomor: 331/SPORADIK/DSKM/XI/2021. Surat itu diteken oleh Kepala Desa Simpang Kota Medan, Baharuddin. Yang bersangkutan belum merespon upaya konfirmasi yang dilakukan Gatra.com.

Bila merunut pada omongan tiga warga tadi, setidaknya sudah lebih dari Rp496 juta duit yang keluar dari kocek para warga untuk mengurus Sporadik. Angka segitu nongol jika harga rata-rata surat Sporadik tadi Rp1,5 juta per surat. Hhhmmm...


Abdul Aziz

2696