Home Hukum Pesan Ketua MK di PKPA: Kuasai Hukum Acara hingga Advokat Kembali Bersatu

Pesan Ketua MK di PKPA: Kuasai Hukum Acara hingga Advokat Kembali Bersatu

Jakarta, Gatra.com – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Dr. Suhartoyo, S.H., M.H., mengatakan, advokat harus menguasai semua hukum acara mengingat advokat mempunyai kewenangan atau jangkauan yang sangat luas.

Suhartoyo menyampaikan pernyataan tersebut sebagai pesan kepada para peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan XXIII DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar)-Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) pada Sabtu, (6/7).

Ia mengatkan, perserta PKPA setelah lulus ujian dan disumpah menjadi advokat, maka akan sejajar keduduannya dengan penegak hukum lainnya, yakni polisi, jaksa, dan hakim sebagaimana Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

“Begitu dilantik jadi advokat itu duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan penegak hukum yang lain,” ujarnya dalam PKPA yang dihelat secara hybrid dari PJB Education Center DPC Peradi Jakbar.

Ia menyampaikan, salah satu modal yang harus dimiliki seorang advokat agar sejajar atau duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan penegak hukum lainnya, yaitu harus menguasai semua hukum acara.

“[Advokat tidak bisa] duduk sama rendah dengan penyidik kepolisian, dengan jaksa sebagai penuntut, dengan hakim sebagai pemutus kalau tidak menguasai hukum acara,” tandasnya.

Ia menjelaskan, penyidik kepolisian itu sangat memahami hukum acara penyidikan karena hanya di situ kewenangannya. Mereka paham hukum acara bagaimana melakukan penyidikan, penangkapan, penahanan, dan seterusnya.

“Jaksa juga begitu, penuntutan bagaimana mengajukan alat-alat bukti, bagaimana menuntut, bagaimana membuat surat dakwaan yang baik, [dst],” kata dia.

Suhartoyo lebih jauh menyampaikan, hal yang sama juga di hakim. Mereka sangat paham bagaimana mengadili, mulai dari menilai proses penyidikan kalau ada praperadilan mengenai penangkapan, penahanan, dan seterusnya.

Selanjutnya, dalam persidangan perkara, hakim akan menilai bagaimana surat dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU), yakni apakah sesuai dengan memenuhi unsur Pasal 143 KUHAP atau tidak.

“Tapi kalau Anda sebagai lawyer, di semua lini harus menguasai karena begitu mendampingi klien itu di semua tahapan tingkatan,” katanya.

Seorang lawyer bisa saja mendampingi kliennya mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).

“Oleh karena itu, semua tingkatan itu Anda harus menguasai hukum acara melekat itu. Itu baru dalam hukum pidana. Perdata juga begitu, tata negara juga begitu, agama juga begitu,” tandasnya.

Advokat wajib menguasai hukum acara sehingga bisa mengimbangi atau duduk sama rata dan berdiri sama tinggi dengan unsur penegak hukum lainnya. Misalnya, ketika mendampingi klien dalam proses penyidikan, kalau tidak menguasai hukum acaranya maka advokat tidak bisa berbuat banyak.

“Kalau tidak menguasai penyidikan yang benar, ada proses penyidikan yang melanggar ketentuan, Bapak/Ibu tidak tahu karena tidak menguasi hukum acara pidana. Penuntutan juga begitu, persidangan di pengadilan juga begitu kalau tidak membekali diri dengan hukum acara,” tandasnya.

Atas dasar itu, Suhartoyo berpesan agar para calon advokat menjadi advokat yang andal dan bisa mendampingi klien secara maksimal serta mendapatkan keadilan, maka harus menguasai hukum acara secara matang di berbagai tingkatan dan bidang.

“Saya pesannya satu saja, kalau mau menjadi advokat yang betul-betul profesional, bekalilah dengan hukum acara yang matang, yang komprehensif,” katanya.

Salah satu cara yang bisa dilakukan, lanjut dia, yakni dengan banyak membaca dan menambah jam terbang. Menurutnya, tidak cukup hanya dengan memiliki ilmu tetapi minim praktik.

"Enggak bisa memang kita punya ilmu segudang di otak kita itu, tapi nanti kalau diimplementasikan itu berbeda. Praktik itu guru yang paling berharga dan tidak bisa kita lupakan,” tandanya.

MK Punya Hukum Acara Tersendiri

Suhartoyo menjelaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai hukum acara tersendiri. Karena itu, advokat meski memahami dan menguasainya meskipun untuk beracara di MK, tidak selalu pihak yang mengajukan permohonan menggunakan jasa advokat sebagai kuasa hukum.

Menurut dia, institusi penegak hukum mempunyai hukum acara tersendiri, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki hukum acara tersendiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di bidang pemberantasan korupsi.

“KPK punya hukum acara khusus dalam penanganan tindak pidana korupsi, termasuk Kejaksaan, dan kepolisian. Apalagi KPK yang mempuyai kewenangan khusus sebagai lembaga extra ordinary,” katanya.

Ia menjelaskan, MK mempunyai empat kewenangan, yakni menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.

“Hukum acara di MK ketika jalankan kewenangan 1 sampai 4, pebedaannya dalam uji UU terhadap UU sifat perkara tidak interpartis, atau ada dua pihak yang bersengketa. Di sini ada pemohon tapi tidak ada termohonnya,” kata dia.

Untuk mengajukan permohonan di MK tidak dipungut biaya alias gratis. Ini karena MK ingin menjemput warga negara yang hak konstitusionalnya terganggu akibat berlakunya sebuah UU.

“Jangan sampai terhalang untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya itu,” ujar dia.

Bahkan di MK itu boleh didampingi oleh pendamping biasa alias tidak harus seorang advokat. Namun demikian, pemohon juga boleh menggunakan jasa advokat sebagai wakilnya untuk mengajukan permohonan.

“Jadi kalau tidak mau menggunakan kuasa hukum yang advokat atau bukan advokat juga bisa pendamping saja,” katanya.

Ia menjelaskan, pendamping ini yang memberi asis dan dia mengerti hukum acara di MK. Ini merupakan upaya memberikan kemudahan bagi seluruh warga negara untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya.

“MK ingin memberikan kemudahan-kemudahan, orang tidak boleh terhalang hak konstitusionalnya untuk diperjuangkan di MK kalau ada persoalan-persoalan inkonstitusionalitas norma yang mengganggu hak konstitusionalnya,” kata dia.

Suhartoyo menjelaskan, putusan MK bersifat erga omnes, yakni tidak hanya mengikat para pihak yang berperkara. “Itu bukan hanya pemohon yang terikat putusan MK, tapi semua warga negara. Kalau ada putusan MK dalam JR itu kita terikat dengan putusan MK,” ucapnya.

Ia menjelaskan, ini beda dengan berperkara di peradilan-peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA). “Mau di Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, PTUN itu putusannya hanya mengikat para pihak yang berperkara,” ujarnya.

Baiknya Tak Semua OA Selenggarakan PKPA

Dalam sesi tanya jawab, Suhartoyo menjelaskan tentang polemik penyelenggaraan PKPA sebagai dampak bermunculannya organisasi advokat (OA). Pada dasarnya, MK tidak bisa menghalangi para advokat untuk mendirikan OA. “Kenapa? Karena MK tidak boleh membatasi berserikat dan berkumpul,” ujarnya.

Meski demikian, ia berpandangan, organisasi advokat yang pada bagian hilirnya memberikan perlindungan hukum dan bantuan hukum kepada para pencari keadilan, harus di-drive melahirkan advokat-advokat yang berkualitas, profesional, dan berintegritas.

“Jangan nanti kalau semua organisasi advokat bisa menyelenggarakan PKPA siapa yang bisa memfilter hasil atau produknya,” kata dia.

Karena itu, Suhartoyo mengaku tidak sembarangan memenuhi permintaan untuk mengajar di sebuah PKPA. Ia akan mempertimbangkan lembaga yang menyelenggarakan PKPA.

“MK sendiri sudah berpendirian [organisasi advokat] yang diakui MK itu yang ada diputusan MK itu,” kata Suhartoyo.

Menurutnya, karena telah ada putusan MK dan UU yang mengatur, maka tidak semua OA bisa menyelenggarakan PKPA. Pasalnya, kalau semua organisasi advokat diperbolehkan atau dibiarkan menyelenggarakannya hingga melakukan pengangkatan advokat, lantas siapa yang akan bisa memastikan dan menjaga kualitas atau mutu advokat ini.

“Karena pada akhirnya yang menjadi korban adalah pencari keadilan,” tandasnya.

Lebih lanjut ia menyampaikan, beda degan organisasi advokat yang telah kredibel, tentunya menyelenggarakan PKPA dan pengangkatan advokat sangat menjaga kualitas calon advokatnya.

“Itu outcome, output-nya betul-betul bisa mempunyai integritas yang baik, apakah organisasi yang lain juga bisa menjamin itu?” ucapnya.

Atas dasar itu, orang nomor satu di MK ini mengharapkan para petinggi organisasi advokat agar kembali bersatu demi masa depan advokat dan para pencari keadilan.

“Kasihan para pencari keadilan, bukan kemudian dibantu oleh advokat yang mumpuni, ini malah 'digrogoti'. Nanti orang lapor kehilangan kambing malah kehilangan sapi. Itu kiasan sering muncul,” ucapnya.

41