Jakarta, Gatra.com - Pemerintah telah merilis aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
PP yang terdiri atas 1172 pasal ini diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara, Pratikno pada 26 Juli 2024
Salah satu aspek penting yang diatur dalam PP adalah ketentuan mengenai Pengendalian Zat Adiktif (Produk Tembakau).
Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD), Ahmad Fanani, menyambut baik pengesahan aturan pelaksana tersebut sebagai langkah penting dalam transformasi kesehatan menuju Visi Indonesia Emas 2045.
Dalam hal pengendalian tembakau, PP ini menandai berlakunya rezim baru pengendalian tembakau. “Muatan pengaturan dalam PP tersebut belum mencerminkan norma pengendalian yang maksimal, tapi patut disyukuri sebagai kado awal Agustusan,” kata Ahmad Fanani.
Menurut Fanani, ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari terbitnya PP Nomor 28 Tahun 2024. Pertama, larangan penjualan kepada orang di bawah 21 tahun. Rokok tidak boleh dijual atau diberikan secara cuma-cuma kepada individu di bawah usia 21 tahun. Sebelumnya, dalam rezim regulasi yang lama (PP 109 tahun 2012), batas usia ditetapkan 18 tahun.
“Perubahan ini mencerminkan komitmen dari pemerintah untuk melindungi generasi muda sebagai landasan transformasi Indonesia Emas 2045 untuk membentuk generasi sehat, unggul dan berdaya saing,” ujar Fanani.
Kedua, larangan penjualan rokok batangan. Di mana penjualan rokok secara satuan per batang dilarang, kecuali untuk cerutu dan rokok elektronik. “Pengaturan ini penting karena sebagaimana temuan SKI (Survei Kesehatan Indonesia) 2023, perokok terbanyak masih di kelompok ekonomi menengah ke bawah dan pendidikan terendah yang sebagian besar membeli rokok eceran per batang,” kata Fanani.
Ketiga, penjualan rokok dilarang dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Aturan tersebut bisa meminimalisir potensi anak-anak dan pelajar untuk merokok. Keempat, tempat khusus merokok harus terpisah dari bangunan utama dan jauh dari lalu lalang orang sebagaimana diatur pasal 443 ayat (5).
Hal yang tak kalah penting, yakni larangan merokok atau menampilkan rokok di media apapun diatur dalam pasal 456 PP Kesehatan. Termasuk dalam aturan tersebut, influencer/netizen tak lagi boleh merokok atau menampilkan vape di media sosial.
Meski demikian, di luar berbagai pengaturan progresif yang baik tersebut, ada beberapa hal yang masih menjadi catatan IISD. Fanani menyayangkan iklan rokok masih dibolehkan. “Larangan iklan hanya berlaku di media sosial. Iklan di media lain masih diperbolehkan seperti di website dan platform internet lainnya. Iklan di televisi masih boleh ditayangkan pada pukul 22.00 hingga 05.00 (berubah 30 menit dari aturan sebelumnya),” kata Fanani.
Ia melanjutkan, larangan iklan di media luar ruang juga masih diperbolehkan meski dengan ketentuan tidak boleh ditempatkan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Selanjutnya, salah satu faktor determinan penyebab darurat rokok mencemaskan adalah “sihir” iklan.
Berbagai evidensi menunjukkan iklan adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan menstimulasi anak muda merokok. “Dalam riset IISD, sebanyak 71% Perokok Pelajar menyatakan bahwa iklan rokok itu kreatif/inspiratif, merangsang mereka untuk merokok,” ucapnya.
Di ASEAN, hanya Indonesia yang menurutnya masih membolehkan iklan rokok. “Sulit mengeliminir epidemi rokok tanpa kebijakan larangan iklan. gempuran iklan rokok mendistorsi pemahaman publik, terutama pada kelompok rentan (remaja dan anak- anak). Kesadaran publik yang terjerat oleh citra yang dikonstruksi iklan tersebut membuat mereka rela mengabaikan segala dampak buruk yang terkandung dalamnya,” kata Fanani.
Hal lain yang menjadi sorotan, yakni peringatan kesehatan hanya 50%. Sesuai Pasal 438 Ayat (4) huruf e, Pictorial Health Warning (PHW) pada kemasan rokok harus menempati 50 persen dari bagian atas kemasan sisi lebar depan dan belakang. “Ketentuan ini hanya naik 10%. Sebagai informasi, dalam regulasi sebelumnya, PHW ditetapkan 40%. Padahal berbagai riset menunjukkan PHW hanya efektif dalam besaran diatas 80%,” ujarnya.
Fanani mengatakan, pengesahan PP 28 tahun 2024 ini tidak serta merta menjadi akhir dari darurat candu tembakau. Tapi setidaknya hal tersebut menunjukkan kehendak baik dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi. “Beberapa aturan progresif dalam PP tersebut, seperti larangan Penjualan kepada orang di bawah 21 tahun, dan Larangan Penjualan eceran per batang, masih membutuhkan pengaturan teknis yang kompleks”.
“Meskipun belum sempurna, mempertimbangkan proses politik dan tebalnya tantangan dari industri, merupakan titik capai yang patut disyukuri sebagai batu loncat untuk pengaturan yang lebih ketat,” Fanani menjelaskan.
Ia menegaskan pentingnya pengawalan terhadap implementasi PP Kesehatan ini agar semua pihak mematuhi aturan yang ditetapkan demi kesehatan masyarakat.