Home Milenial Cerita Murung Puak di Tanah Riau

Cerita Murung Puak di Tanah Riau

Pekanbaru, Gatra.com - Taklah berkesudahan Hendri Alfian merunduk tanah menengadah langit, bertutur pada bintang tentang luak Alim di Indragiri.

Dan tak pula kering ingatan Basri Enggol meretas asa di hampar tanah Gondai Pelalawan. Tanah yang kini terampas oleh pergulatan aturan.

"Nan disobuik Kampung Kami Betuo, Nagoi Kami Berajo, Luak Kami Nan Bepenghulu. Tentang Alim luak penghulunya adalah Sayo. Kalaulah pemerintah menghargai adat kami, mestinya kami diajak untuk menetapkan kawasan yang diingini, bukan ambik mengambik sendiri," kata Hendri kepada Gatra.com, Rabu (22/1).

Yang membikin hati lelaki 56 tahun ini semakin teriris ketika gajah dan harimau dipertimbangkan jelajahnyo, dibuatkan taman untuknyo.

"Lalu kenapa pemerintah tidak mempertimbangkan jelajah kami? Kami hidup turun temurun; manusia bepangkat turun, makonyo tidak punah. Itulah istilah adat kami," kata Batin Alim ini.

Ambiak Bapadah, Pancung Betanyo. Sepanjang Ambiak Inyo Indak Bapadah, Pancung Inyo Indak Betanyo, berarti namonyo perampasan.

"Indak Mau Mudik Demang Hilir Patih. Kalaulah Negara mengatakan tanah adat dan hayat kami adalah hutan negara, berarti kami telah menumpang di Negeri kami, di tanah kelahiran kami. Apakah tidak adanya rakyat Negara ada? Adat hadir karena ada ulayatnya. Dimana tempat hidup adat jika ulayat tidak ada? Jadi, kalaulah kami ini bukan bagian dari Negara, alangkah lebih elok, tolong beri kami surat sepotong," puncak geram ayah satu anak ini memuncak.

Untuk sesama anak kemanakan saja, mengambil tanah untuk beumo di Alim ada aturannya. Ambik bepadah pancung betanyo namonyo kepada tuah adat setempat atau batin yang memegang luak.

Ritual adat ini wajib dipatuhi kalau mau beumo. Beumo kapalo umo, menyurung ke ujung, pondok buruk tinggal di puhun. Begitulah pepatah yang dibuatkan.

Tak hanya oleh turun temurun Batin Alim atau Basri yang Batin Pelabi, tapi bagi semua masyarakat adat yang ada di Riau.

Tapi semua itu sudah tergerus oleh oknum-oknum penyelenggara Negara yang takluk pada kerakusan kaum kapitalis. Hamparan tanah melayu dikapling dari langit tanpa berusaha menengok siapa yang ada di tanah yang dikapling itu.

Baca juga: Ancaman Pertumpahan Darah di Pelalawan

"Benih komplik tumbuh dan berkembang menjadi pertikaian yang tak ada ujung. Adat tersisi bahkan dibenamkan oleh permufakatan jahat itu. Aturan kawasan hutan hanya berlaku pada masyarakat, bukan pada kapitalis. Entah kapan ini ada ujungnyo," Hendri bergumam.

Riau, sejak tahun 1986, sudah diacak-acak oleh 7 surat keputusan kawasan hutan. Mulai dari SK 173, 7651, 673, 878, 314, 393 dan 903. Dari yang tadinya kawasan hutan Riau seluas 9 jutan hektar sampai menyusut menjadi 5,4 juta hektar.

"Tapi bagi kami, SK-SK inilah yang justru pokok pangkal penabur konflik. Hajab kami dibuatnyo. Sebab menurut kami, SK-SK itu hanya mementingkan mereka yang berpunyo, bukan adat dan hayat kami," tuding Hendri.

Yusmar Yusuf sampai termangu mendengar itu semua, dan juga mendengar betapa rumitnya persoalan yang mendera anak kemanakan Batin Pelabi.

Menarik napas panjang dia lalu berujar. "Lahan bukan hanya persoalan hak terdasar. Tapi di dalamnya ada melekat identitas kultural, entitas sebuah majelis suku, juga tentang pride (kebanggaan) sebuah eksistensi," katanya kepada Gatra.com.

Dan di saat masyarakat dalam keadaan rapuh kata Yusmar, para oligarki teramat cerdas memanfaatkan kerapuhan itu, termasuk kerapuhan administrasi, kerapuhan sistem hukum, kerapuhan masyarakat dalam permainan isu hingga perdagangan isu.

Inilah yang kemudian membikin entitas kebudayaan dan etnik berdepan-depan secara oposisional dengan kekuatan oligarkis ekonomi. Ada yang berbungkus ekonomi berbasis forestry (perhutanan) maupun perkebunan besar.

"Dalam situasi seperti itu, bukan sebuah kemustahilan apabila terjadi passing over (pemintasan/peringkusan) hak-hak kaum lemah, termasuk mereka yang lemah dalam jaringan sistem pemerintahan," ujar psikolog massa ini.

Rakyat yang melawan kata Yusmar, mereka pasti punya sejumlah endapan modal deposito "pusat ingatan" (center of memory) bernama "hutan tanah" bagi puak Melayu yang bersisian dengan "pusat ingatan" mukim bernama kampung.

"Kampung, hadir dengan sejarah perbuatan kebudayaan, termasuk perbuatan tani-kebun (kultivasi) sebagai sistem alat penyelamat kehidupan (survival kit) dalam unit terkecil bernama kampung-kampung tadi," katanya.

Kampung dengan segala perkakasnya hari ini, mereka yang melawan adalah derivasi perlawanan "sejarah" dan "kecerdasan sejarah" tentang kesadaran (conscience) entitas dan indentitas.

Tugas Negara sebagai gembala, bertindak selaku pelayan. Kehadiran Negara adalah tugas sejarah dan "respon kecerdasan sejarah".

"Jika negara tidak melakukan responsi ini, maka lengkap sudah "sisi kerapuhan" itu. Sebab Negara bukan semata-mata sebagai "state", tapi lebih mengarah gagal sebagai "administration" (pemerintahan)," Yusmar mengurai.

Dan pemerintahan yang dituntut di sini kata Yusmar bukan lagi sebagai government atau governance, tapi lebih ditutut sebagai sebuah kekuatan sistem administratif.

"Dalam kasus Amerika, kegagalan pemerintahan Obama, tidak disebut sebagai Obama's Govenrment, tapi "Obama's Administration"," Yusmar mencontohkan.

Baca juga: Gara-gara Kasus Gondai, Pemprov Riau Terancam Bangkrut

Lantas terkait apa yang terjadi di Desa Gondai Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan itu, "Tak ada arti Syamsuar Administration hadir dengan gagah kalau ujung-ujungnya dari pembiaran ini akan berakibat fatal bagi rakyat Riau dan APBD Riau lantaran harus menanggulangi hutang-hutang yang terhubung dengan kasus Gondai tadi," kata Yusmar.

"Syamsuar Administration" sedang diuji dalam sejumlah kemurungan. Kemurungan warga-warga kampung demi sebuah entitas dan "pride".

"Dan ini berulang terjadi pada sistem ko-eksistensi antara pemerintah dan sistem oligarkis, pada masa-masa transisi pemerintahan di Riau (jika tak hendak mengalamatkannya untuk seluruh provinsi di Indonesia)," katanya.

Abdul Aziz

298