Jakarta, Gatra.com – Pandemi wabah corona (COVID-19) serta serta langkah isolasi diri telah mengubah praktik kerja masyarakat dunia. Studi terbaru yang dikeluarkan oleh Universitas Monash baru-baru ini mengungkapkan kenyataan bahwa infrastruktur internet sedang berada di bawah tekanan signifikan seiring pemberlakuan kebijakan lockdown di banyak negara.
Kesimpulan itu diungkap oleh pakar Monash University yakni Dr. Klaus Ackerman, Associate Professor Simon Angus, dan Associate Professor Paul Raschky. Ketiga ekonom itu melakukan penelitian terkait besaran volume data dari aktivitas internet global yang dapat menyimpulkan perilaku ekonomi sosial manusia.
Lewat KASPR DataHaus, perusahaan data alternatif yang bermarkas di Melbourne, trio peneliti itu mengembangkan teknologi yang dapat mengumpulkan dan memproses miliaran aktivitas internet dan pengukuran kualitas untuk setiap lokasi di dunia secara berkesinambungan setiap harinya.
Mereka kemudian menciptakan peta Tekanan Internet Global yang tersedia untuk umum dan diperbarui secara berkala melalui situs web KASPR Datahaus. Para pengguna dapat menjelajahi pengamatan global di dasbor dan mengunduh data untuk negara tertentu.
Berdasarkan dari data yang diambil pada 13-14 Februari 2020 sebagai dasar studi, peneliti Monash tersebut mampu mengamati perubahan dalam pola latensi internet yang muncul selama kedua hari tersebut diakibatkan dengan semakin banyak negara yang menerapkan kebijakan lockdown.
“Kami menyebut ukuran perbedaan ini antara hari-hari pertama setelah berlakunya lockdown, dan periode awal pada awal Februari sebagai ‘Tekanan Internet', karena jika lebih besar dari nol, akan memunculkan latensi atau kecepatan masalah, mulai memengaruhi jutaan pengguna internet di wilayah yang melakukan lockdown,” ujar Associate Professor, Paul Raschky dalam pernyataan yang diterima Gatra.com, Selasa (31/3).
Paul menjelaskan meski nilainya relatif kecil, sebesar 3 atau 7 persen, perbedaan itu cukup jauh dari kondisi normal dan mengindikasikan banyak pengguna mungkin mengalami kemacetan bandwidth. Semakin banyak orang di rumah berarti semakin banyak orang yang online dan menghasilkan tingkat bandwidth yang besar.
Dirinya menganalogikan situasi ini seperti sekelompok keluarga yang mencoba melewati terowongan kereta bawah tanah yang ramai. “Video streaming atau unggahan video Anda selama telekonferensi terdiri dari ribuan paket kecil informasi; paket-paket ini perlu menemukan jalan turun tembaga dan kabel serat optik melintasi jarak yang luas. Semakin banyak paket streaming yang mencoba melakukan perjalanan sekaligus semakin padat jalurnya, dan semakin lambat waktu kedatangan,” ujarnya.
Dengan berfokus pada wilayah di negara yang memiliki setidaknya 100 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi per 13 Maret, peneliti lalu meninjau kinerja internet di masing-masing negara mengingat terjadinya peningkatan yang tinggi dalam penggunaan platform hiburan yang berbasis di rumah, konferensi video, serta komunikasi online.
Temuan peneliti Monash University tersebut setidaknya memberikan pandangan yang unik terhadap realitas global saat ini. Ketika pemerintah dihadapkan dengan opsi untuk melakukan karantina wilayah, tekanan terhadap infrastruktur internet tidak dapat dihindari.
“Di sebagian besar negara OECD yang terkena dampak COVID-19, kualitas internet masih relatif stabil. Meskipun wilayah di seluruh Italia, Spanyol dan agak mengejutkan, Swedia, menunjukkan tanda-tanda ketegangan, ”kata Dr. Raschky.
Pada saat penelitian berlangsung, para peneliti menemukan bahwa Malaysia justru muncul sebagai suatu anomali. Meskipun memiliki sejumlah kecil kasus yang dikonfirmasi pada 13 Maret, tingkat “tekanan internet” yang ada jauh lebih besar dibandingkan dengan Tiongkok, Italia, Korea Selatan, Spanyol dan Jepang.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Mengingat jumlah peningkatan kasus konfirmasi positif Covid-19 yang terus bertambah setiap hari dirasa belum mampu mendorong perlambatan penyebaran virus corona di Indonesia.
Dua pekan lalu, lonjakan jumlah pemain game online Mobile Legends dan Fortnite tercatat meningkat drastis ketika pemerintah mengumumkan imbauan belajar di rumah bagi pelajar. Hal itu belum termasuk ketika instansi pemerintah dan perkantoran mulai memberlakukan kebijakan bekerja di rumah bagi karyawannya.
Selain itu, berdasarkan pantauan dari beberapa operator seluler Indonesia disebutkan mengalami lonjakan trafik data sebesar 7-15%. Hal ini tentunya memberikan tugas tambahan bagi operator seluler Indonesia untuk tetap memberikan layanan yang terbaik.