Jakarta, Gatra.com – Pandemi Covid-19 sudah masuk ke Indonesia selama setahun lebih. Meski pandemi sudah berlangsung cukup lama, penanganan Covid-19 masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya ditenggarai bahwa pemerintah tak punya kebijakan yang kuat.
Pemerintah hanya memiliki satu landasan hukum untuk menangani Covid-19 yakni Peraturan Presiden (PP) 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Landasan kebijakan tersebut dinilai kurang, apalagi ditambah dengan pelaksanaan di lapangan yang tidak menunjukkan keseriusan untuk membatasi mobilitas masyarakat guna memutus mata rantai Covid-19.
“Dari Aspek kebijakan, di Indonesia termasuk negara yang belum memiliki kebijakan yang kuat dalam pengendalian Covid. Tercatat, kita hanya memiliki PP 21 Tahun 2020 tentang PSBB,” ujar Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, dalam konfrensi pers daring "Desakan untuk Presiden", Minggu (20/6)
“Tetapi PSBB ini hanya diterapkan di tiga provinsi; DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat. Itu pun dengan modifikasi dari PSBB menjadi transisi proposional dll. Di level kabupaten kota hanya 40-an yang menyelenggarakan PSBB,” Sambung Hermawan.
Lebih lanjut, Hermawan menyebut penggunaan istilah dari PSBB menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) juga bermasalah. Pasalnya, kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda.
Hermawan mengatakan, PPKM tidak bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, melainkan hanya melandaikan kasus. Sebab, mobilitas masyarakat sebagai asal penyebaran Covid-19 tidak ditahan.
“Tentu saja PPKM sangat berbeda paradigmanya dengan PSBB. PPKM itu bertujuan bukan untuk memutus rantai Covid tetapi lebih kepada relaksasi. Jadi melandaikan atau memperlambat situasi,” ungkap Hermawan.
Selain itu, Hermawan juga menyayangkan lemahnya tindakan Testing, Tracing, dan Treatment (3T) yang kurang dari pemerintah. “Dari segi pendekatan surveilans, penyelusuran epidemiologi dan juga 3T, Indonesia juga lemah,” ujar Hermawan.