Home Hukum Teori Keadilan Bermartabat dalam Buku Anyar Guru Besar Hukum UPH

Teori Keadilan Bermartabat dalam Buku Anyar Guru Besar Hukum UPH

 

Jakarta, Gatra.com – Bertepatan dengan Dies Natalis Fakultas Hukum (FH) Univeritas Pelita Harapan (UPH) yang ke-25, Guru Besar FH UPH, Prof. Dr. Teguh Prasetyo, meluncurkan karya terbarunya berupa buku berjudul “Pengantar Hukum Indonesia” atau biasa disingkat menjadi PHI.

Dalam acara bedah buku yang digelar secara virtual pada Senin (19/7), Teguh menceritakan latar belakang penulisan buku tersebut. Ia mengatakan bahwa buku tersebut berasal dari sebuah dialog dengan dosen FH UPH lainnya, Jessica Marpaung.

Dari diskusi dengan sejawatnya tersebut, Teguh menyimpulkan bahwa perkuliahan mengenai PHI untuk mahasiswa-mahasiswa hukum di Indonesia kerap kali berlangsung sepotong-potong. Dengan kata lain, pembelajarannya tidak bersifat komprehensif atau menyeluruh.

“Sepertinya kok PHI tuh terpotong-potong. Karena saya terbiasa berpikir secara filosofis, saya merenung, ya. Kalau terpotong-potong tuh pemahaman mahasiswa tidak holistik dari hulu, ya. Dari hulu sampai hilir. Tidak bisa seperti itu. Ini kan bicara tentang hukum, gitu,” tutur Teguh.

“Lalu terpotong-potong, hukum positif pidana, kemudian perdata, kemudian tiba-tiba apa, gitu. Nah, ini menimbulkan fragmentasi pemikiran. Itu hasil diskusi [dengan Jessica],” ujar Teguh.

Dari diskusi tersebut, maka lahirlah karya yang ke-43 sepanjang kariernya. Ia berharap bahwa dengan bukunya ini, mahasiswa hukum bisa memahami PHI dengan cara yang tidak setengah-setengah. Ia ingin mahasiswa berpikir secara sistematis.

“PHI memang bicara tentang prinsip-prinsip hukum positif, tetapi tidak terpotong-potong, gitu. Jadi menghendaki suatu rangkaian pikiran bahwa hukum itu adalah suatu sistem. Hal ini yang saya mendorong, ya, mendorong pemikiran untuk membuat buku,” ujar Teguh.

Selain itu, Teguh juga membeberkan latar belakang teori buku yang baru saja ditulisnya itu, “Buku ini tentu saya bangun dengan yang namanya teori keadilan bermartabat,” jelas Teguh.

“Saya jadi dosen itu sudah 34 tahun, ya. Selama 34 tahun saya jadi dosen, kalau UPH pensiun sampai 80 masih lama juga, masih 20 tahun pengabdian saya, ya, seperti itu. Saya berpikir mengembangkan diri,” katanya.

Dalam pandangan Teguh, pengembangan diri dalam bentuk teori atau ide merupakan entitas utama seorang ilmuwan. Apalagi ia menyebut bahwa dirinya diberi tunjangan kehormatan oleh negara.

Dengan tunjangan tersebut, Teguh menyebut bahwa negara berharap pada dirinya untuk mampu berpikir mendalam. Melalui munculnya teori “keadilan bermartabat” inilah ia mencoba menjawab harapan negara dengan menuangkan ide-ide komprehensifnya tersebut ke dalam buku barunya itu.

“Yang namanya teori kan sebenarnya kesimpulan dari objek, ya. Setelah ontologi, epistemologi, aksiologi, ditarik kesimpulan, namanya teori. Setelah itu untuk menjelaskan masalah. Harus impor, ya, impor dari pendapat-pendapat, pikiran-pikiran kelas dunia,” ujar Teguh.

Teguh mengaku bahwa ia sering menantang diri untuk mengembangkan ide-ide atau teori-teori anyar dari dalam kepalanya. Teori “keadilan bermartabat” merupakan salah satu hasilnya.

“Itu bukan definisi tentang keadilan, bukan, tetapi teori hukum yang sengaja punya epistemologi, ditarik dari mana pikiran itu, langsung dari pikiran Tuhan,” ungkap Teguh.

332